Hari ini, saat ini, gw mau berbagi tentang gw, msalah hidup gw, n pasangan gw, mungkin semua ini lazim manusia alami di dunia ini, gw sadar gak kan pernah ada yang terlepas dari yang namanya masalah dalam hidup ini, kejadian ini gw alamin sendiri, gw harap ga kan terjadi pada kalian yang baca.
Gw punya cewek, hubungan gw udah hampir 2 tahun ke bulan juli tanggal 7 tahun ini, gw sadar semenjak gw jalanin hubungan ini banyak masalah yang mendera gw, tapi gw ingin tahu seperti apa keegoisan cinta yang gw punya, gw sadar semuanya salah, tapi gak ada salahnya semua ini gw lalui dan gw rasakan, gw sering konflik omongan sama pasangan gw, gw gak pernah konflik fisik karena gw bukan tipe yang seperti itu, 2 hari gw jdian sama dya gw dah ngerasain beda, mulai dari hasutan, hujatan, dan ejekan, mungkin karena fisik dan status sosial gw, karena gw adalah orang yang di bawah standar hidup manusia, gw terbatas untuk segala aktivitas dunia, karena ketidakmampuan materi, tapi gw terus jalani hubungan ini, kalo diperinci masalah yang gw alami lebih dari 100 kali masalah, gw anggap itu wajar dalam 1 hubungan, selanjutnya gw tulis lagi nanti, mudah2an ada waktu untuk nulis lagi. see u....
Baca Selanjutnya Tentang - Tentang Cerita Hidup Admin http://www.alfaridzh.co.cc
Silahkan ubah teks yang anda inginkan di bawah ini :
Jumat, 23 Maret 2012
Senin, 19 Maret 2012
Mengungkap Kekayaan Alam Cikotok Banten Selatan
Bermula dari audiensi Pusat Perencanaan dan Pengembangan Kepariwisataan (P-P2Par) ITB ke PT Antam di Bogor, akhirnya dapat mengunjungi kawasan tambang emas bersejarah Cikotok, Banten Selatan. Tadinya audiensi ke PT Antam adalah untuk bertukar pikiran mengenai agrowisata pascatambang Pongkor, namun kemudian berkembang ke arah edutourism, sustainable tourism, geowisata, dan wisata ex-tambang. Ujung-ujungnya setelah berdiskusi dengan Ir. Agus Yulianto, salah seorang direksi PT Antam lulusan Jurusan Tanah IPB, ia mengusulkan kepada P-P2Par ITB untuk meninjau Cikotok. Jadilah ini kunjungan ketiga ke Cikotok setelah tahun 1984 sewaktu masih mahasiswa Teknik Geologi ITB, dan 1999 sewaktu mengikuti perlatihan sumber daya mineral di Pusdiklat Geologi.
Dua kunjungan terdahulu mempunyai kesan yang tidak dapat dilupakan. Tahun 1984 ketika ekskursi Geologi Ekonomi dengan dosen Ir. Djadjat Sudradjat Madsam (alm), diakhiri dengan serangan diare. Mulanya dalam perjalanan pulang malam dengan bus ITB, Abdul Qodir seorang teman, tiba-tiba meminta sopir bus berhenti. Masih dalam kantuk yang mendera seluruh peserta ekskursi, tadinya merasa kebingungan mengapa bus berhenti di tengah-tengah hutan Leuwiliang Bogor di tengah malam. Saat tahu Abdul Qodir terburu-buru turun dari bus dan segera mencari rumpun semak di pinggir jalan untuk buang hajat besar, semua tertawa riuh.
Saya pun tertawa nikmat sekali melihat kelakuan teman yang satu itu. Saat bus berjalan kembali, belum hilang perasaan lucu itu, ketika tiba-tiba saya merasakan ada yang salah di dalam perut. Rasa melilit segera membelit seluruh perut. Lalu seperti aktivitas magma yang sudah sangat meninggi, eksplosi tidak dapat ditahan lagi. Sama seperti Qodir, saya pun minta bus berhenti. Saat bus berhenti, mengibritlah saya keluar bus dan segera berjongkok di rumpun pinggir jalan. Kini giliran saya ditertawakan Qodir dan seluruh penumpang bus.
Setelah seluruh magma meledak keluar, betapa lega perut ini. Dalam sisa perjalanan, tidur pun cukup nikmat, hingga subuh datang menjelang. Lalu inilah klimaksnya. Saat bus berhenti untuk mengisi BBM, berhamburanlah hampir sebagian besar teman-teman memburu toilet yang hanya satu di SPBU itu. Kepanikan melanda mereka yang harus antre sambil teriak-teriak agar cepat dan menggedor-gedor pintu toilet, sementara yang sudah berada di dalam tidak kalah sengit berteriak bahwa hajatnya belum selesai. Rupanya aktivitas magma mereka baru terasa bersamaan di SPBU ini. Nah, kini giliran saya dan Abdul Qodir yang tertawa terkekeh-kekeh melihat kelakuan teman-teman yang tadi malam menertawakan kami.
Setelah dipikir-pikir akhirnya kecurigaan penyebab serangan diare yang melanda hampir semua mahasiswa dipastikan dari menu sayur buncis sebagai hidangan makan malam yang memang sebenarnya sudah terasa masam basi. Dasar mahasiswa, masakan sudah rada basi pun dihajar pula, dan… begitulah akibatnya.
Kunjungan kedua ke Cikotok adalah saat ekskursi pelatihan sumber daya mineral yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Geologi tahun 1999. Berbeda dengan pengalaman semasa mahasiswa yang lucu, kunjungan kedua kali ini sangat tragis. Seorang peserta pelatihan dari Lemigas mendapat serangan jantung. Beberapa hari kemudian setelah kembali di Bandung, saya mendapat kabar bahwa bapak yang mendapat serangan jantung itu akhirnya meninggal dunia. Sangat mengejutkan karena selama pelatihan berlangsung justru bapak itulah yang paling aktif dan banyak bercanda membawa suasana riang di tengah-tengah kesuntukan pelatihan.
Kini, kali yang ketiga ke Cikotok, situasinya sangat jauh berbeda. Kali ini datang berkunjung atas undangan PT Antam untuk suatu penjajagan pengembangan wisata pasca-tambang. Berangkatlah saya ditemani staf dari P-P2Par, Ina H. Koswara dan Ervi Virna Nursanti di awal Maret 2010 ketika BMKG mengumumkan kewaspadaan adanya cuaca ekstrim di Pulau Jawa. Tetapi perjalanan dari Bandung ke Palabuhanratu dan diteruskan ke Bayah, justru dinaungi matahari yang bersinar cerah sepanjang hari. Saat berdiri di atas jembatan Ci Bareno – batas geografis pemisah provinsi Jawa Barat dan Banten – matahari tepat bersinar terik di atas ubun-ubun. Perjalanan melintasi pegunungan Bayah pun ditempuh dengan lancar di atas jalan aspal yang mulus, sekalipun turun naik dalam kelokan-kelokan tajam.
Secara geologis, daerah ini telah lama dikenal berada pada zona fisiografis Kubah Bayah. Kondisi struktur geologinya kompleks, campur aduk antara perlipatan, penyesaran, pengangkatan, terobosan-terobosan batuan beku, dan endapan-endapan gunung api tua. Umurnya terentang dari Eosen hingga Pliosen. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya menyusun peta geologi daerah ini dalam relief topografi yang sangat kasar, dengan medan turun naik dan lereng-lereng terjal. Sujatmiko dan S. Santosa telah memetakannya dalam skala 1:100.000 dan dipublikasikan pada tahun 1992.
Formasi batuan tertua berumur Eosen disebut sebagai Formasi Bayah yang diendapkan pada lingkungan transisi daratan/sungai ke delta dan laut dangkal. Formasi ini tersebar di sekitar Kota Bayah yang pada kunjungan sekarang berkembang menjadi kota yang ramai. Lokasi wisata Karangtaraje dan Pulau Manuk berupa tanjung dan pantai terjal berbatu merupakan ekspresi permukaan formasi ini. Ke arah barat dari Bayah, formasi ini tersebar hingga Ci Hara, sungai yang membawa bongkah-bongkah batu granit dan granodiorit.
Di Cikotok sendiri, urat-urat emas berada pada endapan gunung api tua Formasi Cikotok yang dulu dikenal sebagai Formasi Andesit Tua. Formasi ini terkenal karena sebarannya yang luas dan menempati wilayah-wilayah di selatan Pulau Jawa. Formasi inilah yang diperkirakan pada Kala Oligosen Akhir hingga Miosen Awal sekitar 30 – 23 juta tahun yang lalu, merupakan inti Pulau Jawa purba. Deretan pusat-pusat gunung api atau dikenal sebagai busur magmatik berada pada jalur di selatan Pulau Jawa purba. Tentu saja, bagian tengah hingga utara Pulau Jawa sekarang yang ditempati gunung-gunung api Kuarter dan padat oleh perkotaan, dulunya masih berupa laut.
Pergerakan tektonik sejak 30 juta tahun yang lalu hingga sekarang telah menggeser busur-busur itu. Proses evolutif itu menjadikan bagian selatan terangkat naik, kemudian tererosi, dan memunculkan lanskap yang luar biasa. Pegunungan terjal, perbukitan karst dan lipatan, jalan turun naik yang berliku-liku, pantai-pantai yang indah, serta potensi-potensi sumber daya mineralnya, memberi berkah bagi Banten Selatan. Alam telah berproses jutaan tahun untuk kita ambil manfaatnya, tetapi harus kita kelola secara bijak. Inilah bagian yang paling sulit.
Cikotok sendiri telah dikenal sebagai kawasan tambang emas sejak lama. Daerah ini telah dikembangkan oleh Belanda sedikitnya sejak tahun 1936. Sebelumnya, penelitian geologis telah dilakukan sejak 1924 hingga 1930 oleh Ir. W.F. Oppenoorth yang dilanjutkan dengan pekerjaan eksplorasi dan pemetaan hingga 1936. Pada tahun inilah perusahaan Belanda N.V. Mijnbauw Maatschapij Zuid Bantam (MMZB) mulai membangun tambang emas hingga 1939 ketika terpaksa terhenti sampai 1942 akibat terjadinya Perang Dunia II.
Selama pendudukan Jepang 1942 – 1945, kegiatan tambang dikerjakan oleh perusahaan Jepang Mitsui Kosha Kabushiki Kaisha tetapi tidak menambang emas melainkan timah hitam timbal (Pb) di Cirotan. Penambnagan timbal dilakukan Jepang untuk keperluan produksi amunisi.
Setelah Indonesia merdeka 1945, praktis penambangan tidak berlanjut hingga 1948, ketika Belanda datang kembali menguasai Indonesia. NV MMZB kembali masuk ke Cikotok tetapi kemudian tidak melanjutkan usahanya karena kondisi tambang yang sangat parah sejak ditinggalkan Jepang.
Di bawah pemerintahan Soekarno, akhirnya tambang emas Cikotok diresmikan pada 12 Juli 1958 dengan pengusahaan dikerjakan oleh NV Tambang Emas Tjikotok (TMT) yang berada di bawah manajemen NV Perusahaan Pembangunan Pertambangan (P3). Setelah beberapa kali berganti induk perusahaan, pada tanggal 5 Juli 1968 tambang emas Cikotok dikelola oleh PN Aneka Tambang (BUMN) yang lalu berubah menjadi PT Aneka Tambang sejak 1974 dan sekarang kemudian dikenal sebagai PT Antam.
Setelah mendulang ribuan ton emas dan perak dari perut bumi Cikotok, Cirotan, dan Cikidang, akhirnya cadangannya habis juga. Saat sekarang yang tersisa adalah urat-urat kecil dengan kadar emas yang hanya menguntungkan secara ekonomis untuk para gurandil, sebutan miris bagi para penambang rakyat. Mereka bertaruh dengan nyawanya untuk membuat lubang-lubang seukuran tubuhnya sendiri masuk sedalam 50 hingga 100 m ke dalam tanah untuk mendapatkan satu atau dua gram emas per hari.
Tahun 2005 sisa-sisa cadangan logam mulia telah menunjukkan batas-batas terakhirnya. Sejak tahun itu pula produksi penambangan emas semakin terus menurun hingga akhirnya satu per satu lubang-lubang tambang ditutup. Contohnya, pintu lubang tambang horisontal Cirotan diblok dengan beton. Kini bekas tambang itu menjadi bagian dari kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Halimun – Salak.
Bagian yang tersisa adalah beberapa fasilitas tambang yang masih berada di Cikotok. Di antaranya yang sangat bersejarah adalah derek vertikal untuk menaik-turunkan pekerja tambang atau bebatuan sedalam 100 m, serta bangunan pabrik pengolahan di Pasir Gombong yang tampak seperti puing-puing yang merana. Keduanya adalah bangunan tambang pertama kali dibuat oleh Belanda pada 1936 dan sekarang dilindungi oleh Balai Kepurbakalaan sebagai artefak benda cagar budaya. Kawasan tambang emas yang telah dikenal dalam buku-buku Ilmu Bumi sejak saya duduk di sekolah dasar pada tahun 1970-an itu akhirnya akan ditutup total pada 2011.
Bagaimana masa depan kawasan tambang emas Cikotok dengan segala fasilitasnya setelah ditinggalkan PT Antam? Akankah berubah menjadi ‘kota hantu’? Begitulah istilah yang biasa diterapkan pada kota-kota tambang yang ditinggalkan, setelah cadangan mineralnya habis tergali.
Baca Selanjutnya Tentang - Mengungkap Kekayaan Alam Cikotok Banten Selatan
Kekayaan Alam Bayah Banten Selatan
“Jangan sembarangan masuk ke gua-gua di sekitar sini tanpa didampingi pemandu. Bisa berbahaya sekali,” nasihat seorang wanita setengah tua. Raut wajahnya yang semula cerah mendadak tegang bercampur khawatir begitu mendengar niat kami.
Bagi saya, sambutan bernada provokatif dari penduduk di daerah sekitar tempat tujuan kami berpetualang terdengar bagai lagu lama. Kecenderungan itu bisa dipahami. Tentu mereka ingin menunjukkan bahwa mereka lebih mengenal daerah itu ketimbang kami, orang-orang kota yang terkesan sok tahu. Mereka pun pasti tak ingin kesederhanaan alam tempat mereka lahir dikangkangi bahkan dirusak oleh pendatang musiman.
Ketika kaki pertama kali menjejak tanah Desa Sawarna, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Jawa Barat, matahari belum lama melampaui titik kulminasinya. Teriknya bukan main. Namun, semilir angin laut yang menyusup dari sela-sela nyiur di desa pantai laut selatan ini menerpa wajah dan tubuh. Badan kami berlelehan keringat dan berdebu.
Ranggalawe, Arief, Anset, dan saya bergegas menurunkan ransel-ransel dari atas kap mobil jip berbak terbuka yang baru kami tumpangi. Lewat tengah hari jip-jip ini tak lagi melayani rute Sawarna-Bayah atau sebaliknya. Di Sawarna jumlah jip omprengan itu terbatas. Perannya sebagai alat transportasi ke kota digantikan ojek motor. Melihat penampilannya yang sesuai untuk melewati medan berat, Anset bilang, jip itu lebih mirip kendaraan perang. Penumpang harus pasrah berjejalan dengan jirigen minyak, sayur-mayur, atau barang-barang lain yang diangkut dari Bayah.
Selama 40 menit menuju Sawarna, kendaraan ini membawa kami mulai dari pertigaan Cibawayak, beberapa kilometer sebelah timur Kota Bayah. Waktu tempuh itu diisi perjalanan ajrut-ajrutan melewati jalan tanah berbatu yang naik-turun bukit. Untungnya, rute berat itu diimbangi dengan pemandangan indah dan bervariasi. Perkebunan kelapa, hutan karet, jati, dan hutan campuran yang dikelola Perhutani silih berganti menemani garis pantai laut selatan.
Saat jip melintasi hutan campuran seluas 1.800 ha itu terlihat beberapa jenis burung ataupun lutung asyik bergelayutan di pucuk-pucuk dahan pohon. Kawasan hutan di sisi pantai ini memang masih menyisakan sedikit tempat berteduh bagi satwa liar. Menurut cerita supir jip, mereka sering memergoki babi hutan atau macan kumbang melintas di jalan berbatu itu.
Setelah menurunkan ransel, kami langsung menuju ke kediaman kepala desa. Drs. Hudaya A.T., penerima penghargaan upakarti 1993, yang menjabat kades dua periode terakhir menyambut kami dengan ramah. Kami melapor dan minta izin untuk menelusuri beberapa gua di sekitar desa.
Menurut Hudaya, dibandingkan dengan desa-desa lain di Kecamatan Bayah, di Sawarna memang paling banyak terdapat gua alam. Jumlahnya mungkin belasan. Sayangnya, hanya beberapa yang diketahui pasti letak pintu masuknya.
Sebagian pernah dimasuki penduduk, tapi lebih banyak yang keberadaannya terlupakan. Hanya sesekali penduduk masuk gua untuk mengumpulkan kotoran kelelawar sebagai bahan pupuk. Dulu juga ada yang masuk untuk mengunduh sarang walet. Namun seiring dengan hasil yang kian tak jelas dibandingkan dengan risikonya yang besar, kegiatan itu surut perlahan-lahan. Kalaupun masih ada, hanya dilakukan satu dua orang.
Gua itu buntu!
Desa Sawarna meliputi beberapa kampung yang dihuni 5.000-an penduduk. Sebagian besar bekerja sebagai petani, nelayan, atau pengrajin. Topografi wilayahnya tak jauh berbeda dengan daerah lain di pantai selatan Jawa. Pantainya lebar memanjang ditaburi pasir halus berwarna keputihan. Di bagian lain, perbukitan seolah memagari desa. Bukit-bukit itu berujung pada tebing-tebing karang sehingga di beberapa tempat mereka seolah menghunjam ke laut.
Daerah perbukitan yang berbatu kapur itu membersitkan harapan, di sana pasti terdapat sejumlah lubang gelap yang berkelok-kelok menembus perut bumi. Gua-gua alam yang menarik dan menanti untuk ditelusuri.
Selama kegiatan penelusuran, Pak Kades menawarkan kediamannya sebagai base camp kami. Sebuah tawaran yang tentu kami terima dengan senang hati. Akomodasi tenda seketika kalah pamor oleh kasur empuk. Namun esoknya, kenyamanan kasur ternyata berakibat buruk, kami bangun kesiangan.
Usai sarapan kilat, Lawe–panggilan Ranggalawe–menyiapkan beberapa kepal batu karbit sebagai bahan bakar lampu penerang utama selama di dalam gua nanti. Juga menyiapkan tali, seat, chest harness, dan perlengkapan caving yang terbuat dari aluminium alloy untuk dimasukkan dalam ransel.
Pak Karma, lelaki setengah baya yang tinggal di Kampung Cibeas, sempat mengernyitkan kening saat kami mintai kesediaannya untuk menjadi penunjuk jalan. “Sebenarnya, untuk apa kalian masuk ke gua-gua itu?” tanyanya. Ia heran, baginya gua-gua yang gelap mengerikan itu bukan tempat menarik untuk dikunjungi. Setelah kami jelaskan bahwa niat kami hanya ingin menyaksikan dan mengagumi keindahan alam bawah tanah, ia bersedia mengantar kami. Pak Karma tahu beberapa lokasi gua, tapi tak ingat semua namanya.
Pukul 11.00 kami mulai bergerak. Mulanya memintas pekarangan rumah-rumah penduduk, lumbung padi, dan pematang sawah. Lalu ganti mendaki sebuah bukit lewat jalan setapak. Kami makin menjauhi pantai sampai akhirnya tiba di mulut Gua Sangko.
Bila tak pasang mata baik-baik, orang tak mengira di situ ada liang besar, menganga di permukaan tanah. Mulut gua itu memang tersembunyi di balik semak dan pepohonan. Kami terpaksa merelakan lengan tergores duri-duri sebelum mencapai mulut gua.
Rasa girang mulai menyeruak ketika beberapa meter menuruni gua sudah terpampang pemandangan yang tak habis-habisnya dikagumi para caver. Ornamen-ornamen berbentuk stalaktit (batu kerucut yang menempel di langit-langit gua) terlihat menggantung di atas kepala. Dinding gua penuh ornamen menyerupai batu meleleh.
Namun kegembiraan kami tak lama. Setelah mengecek dinding-dinding gua di depan, ternyata tak ada lorong yang bisa ditelusuri. Gua itu buntu!
Sarang dedemit
Apa boleh buat. Kami terpaksa naik kembali ke jalan setapak. Sebuah gua lain yang kami jajaki ternyata sekali tiga uang. Buntu juga. Pak Karma yang sehari-hari bekerja sebagai penambang pasir pantai, keheranan melihat paras kami kecewa. Inilah buah dari perjalanan tanpa didahului survai!
Lawe, pimpinan perjalanan kali ini, mencoba menjelaskan kenapa kami kecewa, “Kami mencari gua-gua yang dalam dan panjang. Bukan yang cuma sedalam beberapa puluh meter.”
Pak Karma yang orientasi hidupnya sederhana kali ini harus menampung keluhan beberapa anak muda yang didorong rasa ingin tahu dan memilih perjalanan petualangan sebagai proses mengenal dan kemudian mencintai alam tempatnya berpijak. Tapi kenapa pula harus dengan menelusuri gua-gua gelap dan penuh misteri itu?
Sebagian orang memang enggan mendekati apalagi masuk ke dalam lubang gelap menganga di permukaan bumi. Bagi masyarakat kita, gua sering dipandang sebagai tempat angker. Sarang para dedemit. Namun para caver justru bersikap 180 derajat.
Mereka akan masuk gua dengan hati berbunga-bunga meski bercampur rasa khawatir juga. Kalau badan masih bisa lewat dan rasanya aman, penelusuran akan dilanjutkan. Karena itu lorong atau liang sekecil apa pun di dalam gua tak boleh luput dari pengamatan.
Keadaan gelap total sampai tangan sendiri di depan muka pun tak kelihatan, justru menjadi daya tarik tersendiri. Perasaan cemas bergelayut karena sumber cahaya cuma dari lampu yang dibawa. Rasa ingin tahu–milik setiap insan–menyemangati kegiatan ini. Apa sebenarnya yang berada di balik kegelapan itu? Berbahayakah? Adakah kehidupan di sana?
Pendeknya, seorang penelusur gua lebih suka kalau lorong yang sedang dia telusuri tak berakhir begitu saja. Apa yang dicari dari kegiatan ini mungkin terjawab dengan sebaris catatan milik almarhum Norman Edwin. Pionir penelusuran gua modern di Indonesia ini menulis, “… adalah suatu kepuasan tersendiri bagi seorang penelusur gua bila lampu yang dibawanya merupakan sinar pertama yang mengungkapkan pemandangan menakjubkan di bawah tanah ….”
Trauma penduduk
Matahari mulai condong ke barat. Sinarnya yang tadi putih menyilaukan kini melarik kekuningan di sela-sela pepohonan di atas perbukitan. Pak Karma mengajak kami menuruni bukit. Ia mau menunjukkan sebuah gua yang persis berada di tepi pantai. Orang Sawarna menyebutnya Gua Langir. Kami perlu berjalan sejam lagi untuk mencapainya.
Di sekitar mulut gua itu pernah terjadi peristiwa menghebohkan, menebar trauma penduduk Sawarna terhadap kehadiran anak-anak muda kota macam kami. Dikisahkan, saat musim barat beberapa waktu lalu, seorang mahasiswa hilang di sana. Gara-garanya, ia berusaha seorang diri mencapai lokasi Gua Langir di kaki dinding tebing karang di bibir pantai. Pemuda naas itu terempas gelombang laut selatan yang terkenal ganas. Penyapuan tim SAR dan para penyelam tradisional sia-sia untuk menemukannya. Tiga hari setelah kejadian, helmet-nya terapung-apung di air. Tulang dan sisa tubuhnya baru ditemukan terjepit di sela-sela karang sebulan kemudian.
Melihat dengan mata kepala sendiri, baru kami sadar betapa berbahayanya mendekati mulut gua ini jika air pasang. Apalagi di musim barat, air laut seolah siap menelan siapa saja yang berada di atasnya. Bayangkan saja, garis-garis pasang air laut yang berbekas pada dinding tebing tingginya hampir menutupi gua. Saat air surut begini saja, suara dentuman ombak beradu dengan karang cukup membuat hati berdebar-debar.
Gua Langir punya entrance (pintu masuk) lega. Tinggi mulutnya sekitar 4 m dan lebarnya 3 m yang menyempit di bagian atas. Kami segera berpencar untuk mencari lorong terusan dari beranda gua yang dalamnya sekitar 10 m. Tapi rupanya hari ini sial bagi kami.
Seperti dua gua di bukit tadi, Gua Langir pun tak menyisakan satu celah pun untuk ditelusuri lebih dalam. Kenyataan ini membuat kami kehilangan mood. Naik-turun bukit ternyata hanya menjadi olahraga belaka.
Menghibur diri, saat matahari merapat di horison sebelah barat kami menuju tempat pelelangan ikan (TPI) Desa Sawarna. Letaknya 20 menit jalan kaki menyisir pantai ke arah timur dan menyeberang muara Sungai Cisawarna. Di sana kami mengobrol dengan para nelayan sambil menyeduh kopi. Senja itu mereka sedang bersiap-siap melaut dengan perahu bercadik berkapasitas 2-3 orang. Mereka menyebutnya perahu Jaring Rampus.
Penunggunya ular putih
Pagi berikutnya kami bangun dengan semangat mengambang. Ini hari terakhir kami di desa yang mempesona ini. Besok pagi-pagi sekali kami harus sudah pulang. Kali ini alat-alat pemetaan gua seperti kompas, rollmeter, clinometer (alat ukur sudut kemiringan dalam gua), dan kertas film kedap air termasuk dalam daftar yang kami bawa dalam ransel.
Rencana semula, kemarin adalah penjajagan gua. Baru hari ini saat untuk memetakannya sekaligus membuat foto dokumentasi. Namun lain rencana lain kenyataan. Kemarin kami gagal menemukan gua yang layak dipetakan. Berarti hari ini kami harus sedikit berjudi. Jika menemukan gua yang bagus, akan coba langsung kami petakan.
Atas saran Pak Karma, penunjuk jalan kami bertambah satu lagi, yaitu Pak Amad. Pak tua ini berpengalaman puluhan tahun masuk gua. Ia mantan pengunduh sarang walet yang kurang berhasil. Kondisi ekonominya tak terangkat dengan profesi itu. Namun pengalamannya jelas kami butuhkan untuk menunjukkan lokasi gua yang sesuai harapan.
Gua Cicayur tujuan pertama hari ini. Menurut Pak Amad, gua ini sulit ditelusuri karena ada beberapa lubang vertikal di bagian dalamnya. Bila di daerah Jawa Timur lubang-lubang mirip sumur ini populer disebut luweng, di Sawarna dinamai jemblongan.
Gua yang mulutnya dikelilingi pohon-pohon bambu ini konon ada penunggunya. Entah bermaksud menakut-nakuti atau tidak, Pak Amad bercerita, dulu ia dan teman-temannya pernah melihat ular besar berwarna putih di dalam gua. Anehnya, ular itu menghilang ketika dihampiri. Namun, karena sudah berada di muka entrance, kami menguatkan hati agar tak terpengaruh.
Sebelum turun kami membagi tugas. Lawe dan saya bergantian menjadi leader sembari sebisa mungkin melakukan pemetaan. Arief bertugas loading alat dan makanan, sedangkan Anset piket di mulut gua bersama kedua penunjuk jalan.
Komunikasi dengan HT putus
Setelah berdoa, pukul 10.30 kami mulai menuruni mulut Gua Langir yang sempit. Di dalam banyak batu karang yang runcing. Kami harus bergerak hati-hati kalau tak mau kulit tergores batu-batu tajam itu. Lorong menurun terus. Saya mulai menyalakan lampu karbit saat cahaya matahari tidak lagi bisa menembus bagian dalam lorong.
Setelah merangkak beberapa meter, lorong di depan kami mulai membesar. Lantai gua berganti dengan tanah gembur menyelingi batu-batu berserakan. Setelah itu lorong menyempit lagi dan mulai berkelok-kelok.
Terkadang penelusuran bisa dilakukan dengan berjalan tegak jika ruangan dalam gua cukup luas dan langit-langitnya tinggi. Namun, tak jarang kami terpaksa melakukan gerakan ducking (jalan jongkok) sebab atap lorong cuma setinggi kolong meja. Di bagian ini Arief beberapa kali tertinggal. Ia kesulitan mengiringi langkah saya dan Lawe. Biang keladinya adalah packsack berisi peralatan dan makanan yang bercokol di pundaknya.
Merayap dengan beban bawaan sebesar itu memang cukup merepotkan. Taktik jalannya pun diubah. Bila di depan ada lorong sempit, mula-mula packsack dia dorong pelan-pelan. Lawe yang ada di depannya membantu dengan tarikan. Setelah packsack lolos, baru Arief menyusul.
Meski miskin ornamen karena tergolong gua berusia muda, Cicayur menyajikan daya tarik lain. Di beberapa bagian, dinding-dinding gua ditempeli butiran-butiran pasir mengandung fosfor. Jika diterpa cahaya, kontan berkilauan seperti manik-manik.
Penelusuran berlanjut dengan mengikuti sebuah lorong lurus yang cukup lebar. Lorong itu berujung pada sebuah lubang vertikal mirip sumur. Kami tak bisa memastikan kedalamannya karena dasarnya tak terjangkau cahaya lampu karbit kami. Dalam keremangan samar-samar kami melihat dua batang bambu bekas dipakai para pengunduh sarang walet saat menuruni jemblongan. Sukar dibayangkan bagaimana bambu-bambu panjang itu bisa dibawa masuk dari permukaan tanah di atas sana, melewati lorong-lorong sempit yang berkelok-kelok.
Untuk menuruni jemblongan itu, kami memasang anchor untuk tali yang akan dipakai turun. Kami memilih dua batu yang menonjol pada dinding gua sebagai tambatannya. Ujung tali tidak dilempar ke bawah, tetapi sengaja digulung lalu dibawa sembari diulur oleh Lawe yang turun lebih dulu. Setelah Lawe tiba di bawah, saya dan Arief menyusul turun lewat tali dengan auto-stop descender (alat turun).
Pada saat bersamaan hubungan dengan Anset lewat handy talkie yang sejak tadi terputus-putus, kini benar-benar terputus total. Di dalam gua yang berkelok-kelok semestinya memang dibuat beberapa stasiun relay untuk komunikasi radio. Tapi hal itu tidak mungkin kami lakukan kali ini. Berarti kami tinggal bersiap untuk menghadapi kemungkinan apa pun tanpa kontak dengan orang di permukaan bumi.
Megap-megap kurang oksigen
Usai menuruni sebuah jemblongan lagi, kami tiba di sebuah chamber (kamar gua) yang cukup luas. Di sini ada beberapa bentukan ornamen seperti tirai pada dinding gua. Langit-langit gua itu sendiri tak kelihatan karena terlalu tinggi, tak terjangkau cahaya lampu.
Sementara saya dan Arief mengamati sekeliling ruangan, Lawe berinisiatif melakukan survai ke satu-satunya lorong yang bermula dari chamber itu. Lorong horizontal itu panjangnya sekitar 20 m. Namun, beberapa menit kemudian ia muncul kembali dengan tergopoh-gopoh. Begitu sampai di tempat kami, ia langsung menyambar tabung oksigen dan menghirup isinya dalam-dalam. Dua tiga kali ia mengulangi hal itu sebelum buka suara. “Gila. Di ujung lorong sana ada lubang vertikal lagi. Sebenarnya nggak begitu dalam. Gue sempat lihat sump (genangan air) di dasarnya. Tapi oksigen di situ sedikit sekali. Gue susah bernapas,” katanya sambil tersengal-sengal.
Di chamber ini pun sejak tadi kami sudah merasakan sulitnya bernapas. Dada kami makin lama terasa sesak. Di dalam gua yang berkelok-kelok dan terus menurun ke dalam perut bumi seperti karakter Gua Cicayur ini, memang sangat mungkin terdapat kamar-kamar hampa udara. Apalagi di gua ini tidak terdapat avance (celah atau cerobong angin pada langit-langit gua). Jadi suplai udara ke seluruh lorong gua cuma berasal dari entrance-nya yang berukuran 1 x 2 m di atas sana.
Setelah berembuk sebentar, dengan berat hati kami putuskan untuk menyudahi penelusuran. Bukan apa-apa. Tali tak cukup lagi diulur untuk menuruni jemblongan yang ditemukan Lawe. Tabung oksigen pun cuma ada satu. Risiko besar menghadang jika kami bertiga nekat meneruskan penelusuran.
Kami buru-buru putar haluan kembali ke atas. Tak terasa hampir empat jam kami berada di dalam gua. Lewat sejam lebih dari kesepakatan semula. Begitu kami bertiga muncul ke permukaan, Anset dan kedua penunjuk jalan langsung bertanya bertubi-tubi. Mereka pun ternyata sudah mulai cemas. “Tadi kami hampir saja turun ke desa mencari bantuan. Habis, dipanggil-panggil lewat HT tak menjawab,” kata Pak Karma.
Satu hal yang paling terasa ketika badan keluar dari permukaan tanah, kami baru merasakan betapa nikmatnya udara yang diberikan Tuhan dalam hidup ini. Ini mungkin hampir tak pernah disadari dalam kehidupan sehari-hari. Kami merasa bersyukur.
Selepas ketegangan tadi, kami masih menjajagi sebuah gua lagi, yaitu Gua Armi. Letaknya masih bertetangga dengan Gua Cicayur. Gua Armi bukan tergolong gua yang terbentuk lewat proses gerusan air dalam waktu yang lama, tetapi karena pergeseran lapisan tanah atau patahan. Terbukti strukturnya terdiri dari bongkahan-bongkahan batu kapur sebesar dinding rumah. Lorong-lorongnya sempit menyerupai celah. Kalau mau lewat harus bergerak menyamping sampai ujung hidung seakan hendak menyentuh dinding gua.
Sesekali kami juga harus bergerak dengan teknik chimney, merayap dengan tumpuan kaki dan tangan menempel pada kedua dinding gua. Kami melakukannya sampai beberapa meter tingginya dari dasar gua sebab celah lorong dekat lantai gua terlalu rapat.
Keunikan lain dari Gua Armi adalah air yang terus mengucur dari langit-langitnya yang tinggi. Kami bagai berjalan di tengah gerimis. Di sana-sini cahaya lampu karbit dan headlamp memperlihatkan genangan-genangan air pada lantai gua. Becek. Sayang sekali, karena waktunya kian mepet, penelusuran ini pun harus diakhiri. Kami pulang namun akan kembali lagi. Masih ada pekerjaan tersisa di sana.
Baca Selanjutnya Tentang - Kekayaan Alam Bayah Banten Selatan
Re : Menyusuri Jejak Romusha di banten
DEBUR ombak pantai selatan itu menjadi saksi bisu atas penderitaan ribuan orang, sekitar 60 tahun silam. Namun, kini jejak-jejak kekejaman yang menewaskan ribuan rakyat Indonesia itu mulai terhapus oleh sikap acuh tak acuh generasi zaman ini. Sejarah romusha di Pulau Manuk, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten, itu kini terancam hilang dari kenangan.
Pareno (87), salah satu mantan romusha itu, tertegun sejenak ketika menunjukkan lokasi stasiun, tempat parkir berbagai lokomotif kereta api zaman Jepang, di kawasan pantai Pulau Manuk. Bekas stasiun itu hanya menyisakan pal-pal pondasi yang penuh rumput dan tanaman liar.
Tidak jauh dari tempat itu, kuburan para romusha malah tidak ada lagi tanda-tandanya. Kuburan itu hanyalah tanah kosong di sela-sela semak di pantai Pulau Manuk, yang sering terempas ombak ketika laut pasang.
"Tanah di sini sudah dikapling-kapling dan kebanyakan punya orang Jakarta," tutur Pareno yang menjadi pemandu dadakan saat menyusuri jejak romusha di tempat itu. Selain Monumen Romusha, perlu kerja keras untuk menemukan jejak-jejak romusha di Bayah.
Sumur romusha, stasiun kereta api, goa-goa bekas tambang batu bara di zaman penjajahan Jepang, kuburan romusha, makanan romusha, dan hal-hal lain yang berbau romusha seperti punah begitu saja. "Rel-rel kereta api untuk angkutan batu bara zaman Jepang sudah habis diangkut tukang besi dan dijual," ujarnya.
Sumur romusha, tempat para romusha mengambil air untuk minum yang terletak di lahan perkebunan, belakang SLTPN 1 Bayah, kini tertutup tanaman liar. Jenis sayuran yang dahulu dikonsumsi para romusha, seperti sayur bunga karang, sayur ganggang laut, dan lodeh empot, sudah sulit didapat di Pasar Bayah.
Upacara peringatan romusha oleh masyarakat setempat, berupa atraksi atau karnaval, pun sudah lama tidak digelar. Menurut Pareno, sudah empat tahun terakhir desanya tidak menggelar peringatan itu seiring dengan meninggalnya para bekas romusha. "Anak-anak muda sekarang malu memperingati upacara itu. Mereka malu kalau diketahui keturunan bekas romusha," ungkapnya.
Andaikata semua itu masih terawat, niscaya akan menjadi obyek wisata sejarah, melengkapi wisata pantai yang membentang di pesisir Banten Selatan. Keindahan panorama pantai akan diperkaya oleh kedalaman perenungan batin atas perjalanan sejarah negeri ini.
PULAU Manuk adalah salah satu dari beberapa lokasi di Bayah yang menjadi saksi bisu aksi penindasan Jepang terhadap para romusha. Kawasan yang berjarak sekitar lima kilometer dari kota Kecamatan Bayah atau pertigaan Terminal Bayah itu bisa dicapai dari berbagai jurusan. Dari Jakarta, Bayah bisa ditempuh melalui Sukabumi-Pelabuhanratu (Jawa Barat), atau melalui Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak (Banten). Jika melalui Pelabuhanratu, jalur yang dilewati, antara lain Cisolok-Cipicung-Cikotok-Bayah atau Cisolok-Cibareno-Bayah.
Selain terkenal dengan sejarah romusha, Bayah juga tercatat dalam buku sejarah sebagai tempat persembunyian tokoh Tan Malaka. Di Banten Selatan itu, ia pernah menyamar sebagai mandor pertambangan batu bara dengan nama samaran Ilyas Husein. Tan Malaka sempat mengorganisasi para romusha, membentuk kelompok drama, dan menyelesaikan karya magnum opus-nya, Madilog.
Pada zaman penjajahan Jepang, tulis Adhy Asmara dalam Pesona Wisata Zamrud Katulistiwa Banten, kapal-kapal perang Jepang banyak yang melakukan pendaratan di seputar muara Cimadur, Pantai Bayah. Saat itu, Bayah dikenal sebagai penghasil utama batu bara, yang digunakan untuk bahan bakar kereta api, kapal laut, dan pabrik.
Penambangan batu bara, antara lain dengan pembuatan lubang-lubang tambang batu bara di Gunung Madur serta pembuatan rel kereta api Bayah-Seketi untuk mengangkut batu bara, diperkirakan memakan korban kurang lebih 93.000 romusha. Pareno mengungkapkan, sebagian besar romusha itu didatangkan dari Jawa Tengah, seperti Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan lain-lain.
SEJARAH Romusha di Bayah merupakan potensi wisata sejarah yang diabaikan. Potensi itu sebenarnya akan melengkapi potensi wisata pantai selatan dan wisata ke gua-gua alam. Namun, semua potensi tersebut kurang digarap sehingga terkesan merana.
kawasan Pulau Manuk telah ditata menjadi Desa Wisata Romusha Pulau Manuk. Akan tetapi, saat menyusuri kawasan itu, tidak terlihat adanya tanda-tanda tempat itu telah dijadikan desa wisata.
Sejarah romusha di Banten Selatan-seperti sejarah di balik Tembok Berlin (Jerman), kisah di balik Tugu Tiananmen (China), atau cerita kekejaman Nazi di Monumen Kebangkitan 1944 di Warsawa (Polandia)- sebenarnya bisa dijadikan obyek wisata untuk mengenang luka sejarah....
Parino –dalam Kartu Tanda Penduduk seumur hidup– lahir di Purworejo, 1 Februari 1917. Sementara data Romusha Kecamatan Bayah, mencatat nama Amat Parino kelahiran 1924 di tempat sama.
Bayah menjadi tempat berkumpulnya Romusha dan pegawai pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara 1 April 1943. Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan Timur, termasuk Parino ini. Parino bekerja sebagai penggali lubang penambangan di Gunung Madur, sekitar 10 kilometer dari Bayah.
Dengan luas sekitar 15 ribu hektare, Bayah menjadi satu-satunya tempat yang mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang datang. Belanda bahkan sudah memberikan izin membuka tambang kepada perusahaan sejak 1903, tapi belum mengeksploitasinya.
Sebelum 1942, kebutuhan batu bara di Jawa dipasok dari Sumatera dan Kalimantan. Namun angkutan pelayan Jepang banyak terpakai kepentingan perang. Jepang ingin Jawa mandiri dalam memenuhi kebutuhan batu bara. Dan Bayah-lah pilihannya.
Jepang membuka tambang lewat perusahaan Bayah Kozan Sumitomo. Bayah menjadi pusat administrasinya. Mereka membuka jalur kereta api dari Saketi, Kabupaten Pandeglang menuju Bayah –sekitar 90 kilometer. Dari Bayah, kereta bersambung menuju lokasi penambangan seperti Gunung Madur, Tumang dan Cihara.
Stasiun Saketi menjadi tempat persimpangan kereta dari Jakarta menuju Bayah dan Labuan. Jalur Jakarta-Labuan sudah ada sejak jaman Belanda, 1914. Stasiun Saketi kini menjadi hunian anak kepala stasiun.
Saketi berasal dari bahasa Sunda yang artinya 100 ribu. Konon, nama ini muncul ketika ada kabar Jepang mau membuka jalur ke Bayah. Dulu Saketi masih bernama Ciandur.
Nah, dari kabar itu muncul desas-desus tentang ramalan mengerikan : Ciandur-Bayah akan terhubung dengan besi dan kuda besi diatasnya dengan memakan korban 100 ribu. Belum ada yang memverifikasi data itu . Tapi nyatanya banyak Romusha mati saat jalur kereta 90 kilometer itu dibuat. Kalau benar, artinya setiap 1 meter harus ditebus dengan 1 nyawa!
Kembali ke Bayah. Mbah Parino di sana mendapat upah F 0,40 (40 sen) sehari ditambah 250 gram beras. Uang 40 sen sehari waktu itu hanya cukup buat beli satu buah pisang. Itupun Jepang jarang membayar upah Romusha.
Setiap pagi Mbah Parino berkumpul di depan asrama Romusha. Menyembah matahari. Senam sambil nyanyi lagu Jepang. Si Mbah masih hafal lagu propaganda itu, seperti Umiyukaba, Yaesiyono, Haitaisan no arigato hingga lagu kebangsaan Jepang Kimigayo.
“Coba dong Mbah sambil peragakan senamnya…”
“Halah….gak kuat kalee…”
Si Mbah juga masih lancar Bahasa Jawa. Pulo Manuk memang terkenal sebagai Kampung Jawa. Si Mbah pake tiga bahasa dalam kesehariannya : Jawa, Sunda dan Melayu.
Setelah cukup dengan segala ritual ala Nippon itu, Parino diberi makan bubur encer dan langsung menuju lubang penambangan. Kalau beruntung, sorenya Parino dapat jatah makan lagi. Tapi seringnya Parino mengakhiri hari dengan perut berbunyi.
Mbah Parino termasuk orang yang memiliki kekebalan tubuh yang hebat. Ratusan bahkan ribuan temannya mati karena kelaparan dan penyakit. Tempat si Mbah ini memang terkenal sangar. Tentara Jepang saja takut pergi ke Pulomanuk ini –sekitar 6 kilometer dari Bayah. Di sini menjadi sarang Malaria, Disentri, Kudis, Borok dan penyakit lainnya.
Mayat bergelimpangan. Dalam sehari Mbah Parino bisa menguburkan tiga mayat. Itu baru di Pulo Manuk, belum di Bayah seluruhnya. Mbah Parino ini kenal dengan Haji Emok Mukandar –penduduk asli yang mengurus mayat romusha di seluruh Bayah.
***
Dalam memoar Tan Malaka, jumlah Romusha yang meninggal mencapai 400 orang dalam sebulan. Kuburan para Romusha setelah merdeka konon mencapai 38 hektare.
Maka para penggede Bayah pada 1950-an membangun Tugu Romusha. Sampai sekarang tugu itu masih menjadi tempat ziarah keluarga Romusha. Sebuah tugu tanpa perawatan memadai.
Baca Selanjutnya Tentang - Re : Menyusuri Jejak Romusha di banten
Monumen Romusha di Bayah Banten Selatan
Tugu Romusha terletak di Wilayah Bayah Lebak Selatan, provinsi Banten. Tugu ini di buat sebagia bentuk penghargaan dan pengingat akan adanya sejarah Romusha di Banten Selatan, terutama di Bayah. Berada di sebelah SLTPN 1 Bayah, tak jauh dari Kantor kecamatan bayah.
"Bayah menjadi tempat berkumpulnya Romusha dan pegawai pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara 1 April 1943. Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan Timur, termasuk Parino ini. Parino bekerja sebagai penggali lubang penambangan di Gunung Madur, sekitar 10 kilometer dari Bayah. Dengan luas sekitar 15 ribu hektare, Bayah menjadi satu-satunya tempat yang mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang datang. Belanda bahkan sudah memberikan izin membuka tambang kepada perusahaan sejak 1903, tapi belum mengeksploitasinya.
Sebelum 1942, kebutuhan batu bara di Jawa dipasok dari Sumatera dan Kalimantan. Namun angkutan pelayan Jepang banyak terpakai kepentingan perang. Jepang ingin Jawa mandiri dalam memenuhi kebutuhan batu bara. Dan Bayah-lah pilihannya Jepang membuka tambang lewat perusahaan Bayah Kozan Sumitomo. Bayah menjadi pusat administrasinya. Mereka membuka jalur kereta api dari Saketi, Kabupaten Pandeglang menuju Bayah –sekitar 90 kilometer. Dari Bayah, kereta bersambung menuju lokasi penambangan seperti Gunung Madur, Tumang dan Cihara"
Di Bayah ini pula, Tan Malaka, Seorang Tokoh Kemerdekaan penah bekerja dan melakukan penyamaran. Dengan Nama Ilyash Husain, kemudian Tan Malaka di melakukan penyamaran dan berbaur dengan Romusha dan masyarakat bayah.
Jasa mereka, para Romusha begitu besar. Tapi jika melihat tugu Romusha, tentu sangat miris. Kondisinya kurang begitu terawat. Adanya sampah dan sisa makanan ketika kami mengunjunginya. Miris.
Baca Selanjutnya Tentang - Monumen Romusha di Bayah Banten Selatan
Kisah Tan Malaka di Bayah, Lebak, Banten
Pada rangkaian tulisan yang lalu telah dikemukakan tentang jalan KA maut alias Death Railway antara Birma-Siam dan antara Muaro Pekanbaru dengan jumlah korban fantastis yang terdiri dari tawanan perang (POW) Sekutu dan romusha. Keduanya menyangkut pembangunan jalan kereta api yang punya arti sangat strategis bagi kelanjutan ekspansi tentara Jepang pada Perang Dunia ke 2, dan dikerjakan dengan sistim kerja paksa (slave labour) romusha dan POW tadi. Pembahasan akan menjadi kurang lengkap kalau Death Railway ke tiga tidak kita singgung dalam rangkaian kisah kekejaman perang ini. Death Railway yang ke 3 adalah pembangunan jalan kereta api antara Saketi-Bayah di Banten Selatan yang dilakukan pada tahun 1942-1945.Pembangunan jalan KA Saketi-Bayah juga merupakanbagian dari strategi perang Jepangbertujuan ganda : pertama mengangkut batu bara dari tambang batu bara Cikotok yang merupakan bahan bakar kereta api dan kapal zaman itu, kedua guna menghindarkan angkutan laut yang sudah mulai terancam oleh serangan torpedo kapal selam sekutu. Pembangunannya juga dilakukan dengan menggunakan tenaga romusha tanpa POW, tapi melibatkan sejumlah tenaga ahli perkereta apian Belanda yang menjadi tawanan perang Jepang. Pekerjaan penambangan batu bara inipun dikerjakan dengan penggunaan tenaga romusha.
Bantalan kayu dan rel untuk pembangunan jalan KA ini diambil dari seluruh Jawa, sebagaimana halnya juga dengan tenaga romusha yang kebanyakan berasal dari Jawa Tengah, seperti dari Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan lain-lain.
Pembangunan jalan kereta api sepanjang 89 km ini menelan korban yang diperkirakan mencapai 93.000 jiwa romusha.
Bayah yang sibuk dengan aktivita pembuatan jalan kereta api dan penambangan batu bara inilah yang juga terkait dengan cerita seputar Tan Malaka.
Diceritakan bahwa dikota kecil Bayah inilah Tan Malaka pernah menetap.
Kota yang merupakan tempat yang aman bagi persembunyian Tan Malaka, dan tempat yang cukup tenang guna meneruskan aktivitasnya menuliskan buah-buah pemikirannya tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Walau kisah sejarah ini sangat mencekam dilihat dari korban jiwa romusha yang fantastis itu, ternyata saat ini jejak-jejak sejarah itu sudah hampir-hampir lenyap. Masyarakat banyak yang hanya pernah mendengar kisah ini dan hampir semuanya sekarang bersikap acuh tak acuh.
Tempat-tempat yang dulu dikenal sebagai sumur romusha, stasiun Kereta Api, goa-goa bekas penambangan batu bara, semua sudah sulit ditemukan. Rel-rel untuk angkutan batu bara sudah habis diangkut tukang besi untuk dijual.
Satu-satunya apresiasi yang pernah diberikan terhadap para korban ini adalah kehadiran sebuah monumen berupa tonggak setinggi 3 meter, yang terletak di sebelah SLTPN 1. Tugu yang dikhabarkan dibangun oleh Tan Malaka ini berada dalam kondisi tidak terawat dan terkesan diabaikan.
Berikut ini adalah beberapa kisah seputar jalan kereta api maut Saketi-Bayah yang diambil dari sejumlah posting di internet :
Berikut ini terjemahan dari buku yang sama, tentang
jalur Banten Selatan (Jan de Bruin)
Jalur Banten Selatan (Saketi-Bayah)
Terutama setelah tahun 1943, kesulitan hubungan laut
(akibat kegiatan kapal selam Sekutu) menimbulkan
masalah bahan bakar di Jawa. Sebelum perang, sebagian
besar lokomotif menggunakan bahan bakar batu bara, dan
sebagiannya kayu jati. Produksi kayu per tahun adalah
sekitar 300 ribu ton, sebagian besarnya dari Dinas
Kehutanan (Boschwezen = Perhutani). Untuk kepentingan
perusahaan kereta api, diperlukan 900 ribu ton kayu
bakar per tahunnya. Maka, sejak tahun 1942, Jepang
memiliki gagasan untuk memanfaatkan batu bara muda di
sekitar Bayah sebagai bahan bakar. Jepang mendapatkan
sebuah laporan dari sekitar tahun 1900 bahwa cadangan
batu bara muda di Bayah mencapai 20-30 juta ton.
Jepang memperkirakan bahwa produksi batu bara per
tahun mungkin mencapai 300 ribu ton. Namun cadangan
batu bara tersebut tersebar di lahan yang luas dan
terisolasi. Lapisan batu bara itu juga tipis, hanya
sekitar 80 cm, sehingga eksploitasi besar-besaran pada
masa damai tidak akan ekonomis. Namun ini adalah masa
perang.
Untuk bisa mengeksploitasi tambang-tambang itu,
dibangun jalur sepanjang 89 km dari Saketi (sebuah
stasiun di jalur Rangkasbitung-Labuan) ke Bayah, di
selatan Banten. Rencana jalur mulai dirancang pada
bulan Juli 1942, dan pembangunan dimulai awal tahun
1943. Bantalan kayu dan rel dikirim dari seluruh Jawa
ke Saketi. Sejak awal tahun 1943 banyak pakar
perkeretaapian Belanda dipaksa untuk menyumbangkan
keahlian dan pengetahuan mereka untuk pembangunan
jalur ini. Seperti juga di Sumatera, kerja terberat
dalam pembangunan jalur ini dilakukan oleh para
romusha. Banyak dari mereka menjadi korban karena
kekurangan makan dan penyakit tropis. Angka yang
diberikan bervariasi dari 20 hingga 60 ribu, belum
termasuk 20 ribu pekerja tambang yang tewas. Daerah
berpenduduk jarang ini masih merupakan rimba,
rawa-rawa dan bukit-bukit, penuh dengan hewan buas.
Ditambah dengan kerja keras dan ketiadaan obat-obatan,
tidak kurang dari 500 romusha setiap harinya tewas,
namun setiap harinya jumlah yang lebih besar direkrut
untuk menjadi pekerja. Pada masa pembangunan jalur ini
sekitar 25-55 ribu pekerja membangun jalur ini. Sejauh
diketahui, tidak ada tawanan perang yang dipekerjakan
untuk membangun jalur ini. Pada bulan Maret 1944 jalur
telah siap, dan dibuka pada 1 April 1944 (tepat 61
tahun yang lalu!) oleh para pejabat Jepang. Lokomotif
BB10.6 menarik kereta pertama di jalur ini.
Jalur ini berawal di stasiun Saketi, dan berakhir di
Gunungmandur, letak tambang batu bara yang terjauh.
Stasiun Gunungmandur terletak dua kilometer dari
stasiun Bayah. Jalur sepur tunggal ini memiliki
sembilan stasiun dan lima halte (yaitu Cimangu,
Kaduhauk, Jalusang, Pasung, Kerta, Gintung,
Malingping, Cilangkahan, Sukahujan, Cihara,
Panyawungan, Bayah dan Gunungmandur). Masing-masing
stasiun setidaknya memiliki dua jalur dan bangunan
stasiun kecil; Bayah memiliki lima jalur. Selain
stasiun Gunungmandur, tujuh stasiun yang lebih kecil
dilengkapi dengan sinyal dengan handel kayu. Bayah
menggunakan sinyal Alkmaar.
Setiap harinya maksimum 300 ton batu bara muda dibawa
ke Saketi. Selain batu bara, ada pula kereta api
penumpang, namun karena daerah ini berpenduduk jarang,
sebagian besar penumpang adalah pekerja kereta api
atau pekerja tambang. Setiap harinya 800 penumpang
bepergian, yang diangkut dengan 15 kereta kelas 3.
Jalur ini dibangun relatif lebih kokoh daripada jalur
Pekanbaru, dengan 20 jembatan, semuanya dengan
ujung-ujung dari batu.
Untuk pembangunan jalur Banten Selatan ini digunakan
material kereta api dari pabrik-pabrik gula yang
ditutup dan lok tram PsSM No. 12 (B16). Setelah
beroperasi, digunakan material SS dan lok BB10.
Kompas, Sabtu, 07 Agustus 2004
Menyusuri Jejak Romusha di Pulau Manuk DEBUR ombak pantai selatan itu menjadi saksi bisu atas penderitaan ribuan orang, sekitar 60 tahun silam. Namun, kini jejak-jejak kekejaman yang menewaskan ribuan rakyat Indonesia itu mulai terhapus oleh sikap acuh tak acuh generasi zaman ini. Sejarah romusha di Pulau Manuk, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten, itu kini terancam hilang dari kenangan.
SATU-satunya apresiasi terhadap kegetiran para romusha itu hanyalah berupa tonggak monumen yang berlokasi di sebelah SLTPN 1 Bayah, tak jauh dari Kantor Camat Bayah. Itu pun kurang terawat dan terkesan diabaikan.
Pekan ketiga bulan Juli lalu, bangunan bersisi empat dengan tinggi sekitar tiga meter tersebut mulai menghitam. Rumput-rumput liar memenuhi gundukan tanah pinggir jalan raya, tempat Monumen Romusha itu dibangun.
Bendera merah-putih tidak terpasang sempurna karena kaitan bagian merah terlepas. Merah-putih yang tidak bisa berkibar seolah mengabarkan ketidakberdayaan para romusha di bawah kekejaman penjajah Jepang, tahun 1942-1945.
Pareno (87), salah satu mantan romusha itu, tertegun sejenak ketika menunjukkan lokasi stasiun, tempat parkir berbagai lokomotif kereta api zaman Jepang, di kawasan pantai Pulau Manuk. Bekas stasiun itu hanya menyisakan pal-pal pondasi yang penuh rumput dan tanaman liar.
Tidak jauh dari tempat itu, kuburan para romusha malah tidak ada lagi tanda-tandanya. Kuburan itu hanyalah tanah kosong di sela-sela semak di pantai Pulau Manuk, yang sering terempas ombak ketika laut pasang.
“Tanah di sini sudah dikapling-kapling dan kebanyakan punya orang Jakarta,” tutur Pareno yang menjadi pemandu dadakan saat menyusuri jejak romusha di tempat itu. Selain Monumen Romusha, perlu kerja keras untuk menemukan jejak-jejak romusha di Bayah.
Sumur romusha, stasiun kereta api, goa-goa bekas tambang batu bara di zaman penjajahan Jepang, kuburan romusha, makanan romusha, dan hal-hal lain yang berbau romusha seperti punah begitu saja. “Rel-rel kereta api untuk angkutan batu bara zaman Jepang sudah habis diangkut tukang besi dan dijual,” ujarnya.
Sumur romusha, tempat para romusha mengambil air untuk minum yang terletak di lahan perkebunan, belakang SLTPN 1 Bayah, kini tertutup tanaman liar. Jenis sayuran yang dahulu dikonsumsi para romusha, seperti sayur bunga karang, sayur ganggang laut, dan lodeh empot, sudah sulit didapat di Pasar Bayah.
Upacara peringatan romusha oleh masyarakat setempat, berupa atraksi atau karnaval, pun sudah lama tidak digelar. Menurut Pareno, sudah empat tahun terakhir desanya tidak menggelar peringatan itu seiring dengan meninggalnya para bekas romusha. “Anak-anak muda sekarang malu memperingati upacara itu. Mereka malu kalau diketahui keturunan bekas romusha,” ungkapnya.
Andaikata semua itu masih terawat, niscaya akan menjadi obyek wisata sejarah, melengkapi wisata pantai yang membentang di pesisir Banten Selatan. Keindahan panorama pantai akan diperkaya oleh kedalaman perenungan batin atas perjalanan sejarah negeri ini.
PULAU Manuk adalah salah satu dari beberapa lokasi di Bayah yang menjadi saksi bisu aksi penindasan Jepang terhadap para romusha. Kawasan yang berjarak sekitar lima kilometer dari kota Kecamatan Bayah atau pertigaan Terminal Bayah itu bisa dicapai dari berbagai jurusan. Dari Jakarta, Bayah bisa ditempuh melalui Sukabumi-Pelabuhanratu (Jawa Barat), atau melalui Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak (Banten). Jika melalui Pelabuhanratu, jalur yang dilewati, antara lain Cisolok-Cipicung-Cikotok-Bayah atau Cisolok-Cibareno-Bayah.
Jalur Cisolok-Cibareno-Bayah akan melewati beberapa jalan mendaki dan menurun, tetapi pengunjung akan mendapat suguhan panorama laut selatan, seperti Pantai Cibangban, Cibareno, dan seterusnya. Indahnya pantai selatan di kiri jalan, yang diselingi dengan liukan nyiur dan hamparan sawah di dekat pantai, bisa dinikmati di jalur selatan itu hingga Muarabinuangeun.
Namun, jika menyetir mobil, perlu berhati-hati dan jangan sampai terlena pada keindahan pantai selatan. Di sepanjang jalur selatan itu, masih banyak jalan berlubang kendati masih layak untuk dilalui. Di samping itu, situasi jalan di tempat-tempat tertentu pada jalur itu kadang-kadang sepi.
Jika melalui Rangkasbitung, jalur yang dilewati, antara lain, yaitu Saketi (Pandeglang)-Malingping-Bayah. Sebelum sampai Malingping, pengunjung akan melewati jalan berliku-liku di antara permukiman warga dan area perkebunan dengan kondisi jalan yang sebagian bagus, tetapi sebagian sudah rusak. Setelah melewati Malingping ke arah Bayah, pemandangan pantai selatan terhampar di kanan jalan.
Selain terkenal dengan sejarah romusha, Bayah juga tercatat dalam buku sejarah sebagai tempat persembunyian tokoh Tan Malaka. Di Banten Selatan itu, ia pernah menyamar sebagai mandor pertambangan batu bara dengan nama samaran Ilyas Husein. Tan Malaka sempat mengorganisasi para romusha, membentuk kelompok drama, dan menyelesaikan karya magnum opus-nya, Madilog.
Pada zaman penjajahan Jepang, tulis Adhy Asmara dalam Pesona Wisata Zamrud Katulistiwa Banten, kapal-kapal perang Jepang banyak yang melakukan pendaratan di seputar muara Cimadur, Pantai Bayah. Saat itu, Bayah dikenal sebagai penghasil utama batu bara, yang digunakan untuk bahan bakar kereta api, kapal laut, dan pabrik.
Penambangan batu bara, antara lain dengan pembuatan lubang-lubang tambang batu bara di Gunung Madur serta pembuatan rel kereta api Bayah-Seketi untuk mengangkut batu bara, diperkirakan memakan korban kurang lebih 93.000 romusha. Pareno mengungkapkan, sebagian besar romusha itu didatangkan dari Jawa Tengah, seperti Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan lain-lain.
SEJARAH Romusha di Bayah merupakan potensi wisata sejarah yang diabaikan. Potensi itu sebenarnya akan melengkapi potensi wisata pantai selatan dan wisata ke gua-gua alam. Namun, semua potensi tersebut kurang digarap sehingga terkesan merana.
Adhy Asmara dalam buku yang sama menyebutkan, kawasan Pulau Manuk telah ditata menjadi Desa Wisata Romusha Pulau Manuk. Akan tetapi, saat menyusuri kawasan itu, tidak terlihat adanya tanda-tanda tempat itu telah dijadikan desa wisata.
Sejarah romusha di Banten Selatan-seperti sejarah di balik Tembok Berlin (Jerman), kisah di balik Tugu Tiananmen (China), atau cerita kekejaman Nazi di Monumen Kebangkitan 1944 di Warsawa (Polandia)- sebenarnya bisa dijadikan obyek wisata untuk mengenang luka sejarah…. (MH SAMSUL HADI)
Tempo 25/XXXVII 11 Agustus 2008
Kerani yang Baik Hati
PENDENGARANNYA tak lagi sempurna. Ingatannya pun telah memudar. Dia hanya menggelengkan kepala ketika ditanyai soal usianya. Parino, dalam kartu tanda penduduk, lahir di Purworejo pada Februari 1917. Sedangkan data Romusha Kecamatan Bayah mencatat nama Amat Parino kelahiran Purworejo 1924.
Parino kini tinggal di Kampung Pulo Manuk, Desa Darmasari, Bayah, Banten Selatan—sekitar 230 kilometer dari Jakarta. Dia diboyong dari Purworejo, Jawa Tengah, untuk bekerja di bagian lubang tambang batu bara. Parino tidak tahu persis usianya ketika itu. Yang diingatnya, ”Saya belum menikah, tapi sudah disunat,” ujarnya sambil tertawa.
Bayah menjadi tempat berkumpul romusha dan pegawai pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara pada 1 April 1943. Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Parino. Di kawasan pesisir selatan inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka singgah dan bekerja sebagai juru tulis.
Tan Malaka datang ke Bayah pada Juni 1943. Dia dikenal masyarakat Bayah dengan nama samaran Ilyas Hussein. Parino lamat-lamat mengingat nama Hussein sebagai seorang kerani atau juru tulis. ”Kalau enggak salah, orangnya sangat pintar,” kata Parino.
Bayah dengan luas sekitar 15 ribu hektare menjadi satu-satunya tempat yang mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang datang. Belanda telah memberikan izin membuka tambang kepada perusahaan swasta sejak 1903, tapi belum mengeksploitasinya.
Sebelum 1942, kebutuhan batu bara di Jawa dipasok dari Sumatera dan Kalimantan. Namun angkutan pelayaran Jepang banyak terpakai oleh kepentingan perang. Jepang ingin Jawa mandiri dalam memenuhi kebutuhan batu bara.
Jepang membuka tambang lewat perusahaan Sumitomo. Mereka membuka jalur kereta api dari Saketi, Pandeglang, menuju Bayah—sekitar 90 kilometer. Dari Bayah, kereta bersambung menuju ke lokasi penambangan seperti Gunung Madur, Tumang, dan Cihara. Kini beberapa lokasi masih ditambang penduduk, sedangkan yang lain terbengkalai begitu saja.
Tan bekerja di Bayah setelah melamar ke kantor Sosial. Dia butuh penghasilan sekaligus tempat bersembunyi. Waktu itu, perusahaan di Bayah membutuhkan 30 pekerja—bukan romusha. Tan melamar tanpa ijazah. Dia mengaku bersekolah di MULO (setara dengan sekolah menengah pertama) dua tahun dan pernah menjadi juru tulis di Singapura. Tan lulus dengan menyisihkan 50 pelamar.
Tan berangkat dengan kereta api dari Tanah Abang, berakhir di Stasiun Saketi. Saat itu kereta rute Saketi-Bayah belum beroperasi. Dia lalu meneruskan perjalanan dengan truk.
Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan mendapat cerita tentang asal-usul Saketi. Kata Saketi berasal dari bahasa Sunda, yang artinya 100 ribu. Konon, 100 ribu itu mengacu pada ramalan tentang banyaknya korban selama pembuatan jalur kereta Saketi-Bayah. Jadi, kalau jarak Saketi ke Bayah 90 kilometer, ada satu nyawa melayang dalam satu meter rel.
Stasiun Saketi menjadi tempat persimpangan kereta dari Jakarta menuju Bayah dan Labuan. Tempo—bersama penulis buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 , Harry Albert Poeze—menelusuri rute perjalanan Tan dari Stasiun Saketi. Kini bangunan itu telah menjadi tempat tinggal anak kepala stasiun, Momo Mujaya, 58 tahun. Jalur Saketi-Bayah berhenti beroperasi pada 1950-an, disusul Saketi-Labuan sekitar 1980.
Sesampai di Bayah, Tan indekos di rumah warga, sebelum menghuni gubuk kecil dari bambu. Dia selalu memakai celana pendek, kemeja dengan leher terbuka, kaus panjang, helm tropis, dan tongkat. Dia berbicara dengan bahasa Indonesia, tapi jarang tampil di depan umum.
Tan sering menjelajahi pelosok, termasuk Pulo Manuk, enam kilometer dari Bayah. Tempat itu paling ditakuti, termasuk oleh tentara Jepang, karena penyakit kudis, disentri, dan malaria mewabah di sana. Waktu itu, penyakit dan kelaparan menjadi faktor utama kematian romusha di Bayah.
Suatu saat, Tan pernah diminta mengurusi data pekerja. Dia sering berhubungan dengan romusha dan mencatat jumlah kematian mereka. Dalam memoarnya, Tan mencatat 400-500 romusha meninggal setiap bulan. Hingga akhir pendudukan Jepang, luas tempat pemakaman romusha mencapai 38 hektare.
Keluar-masuk terowongan dan memberikan nasihat pentingnya kesehatan, Tan dikenal sebagai kerani yang baik hati. Dia suka membelikan makanan buat romusha dari upahnya sendiri. ”Kita dapat mempraktekkan rasa tanggung jawab terhadap golongan bangsa Indonesia yang menjadi korban militerisme Jepang,” kata Tan suatu ketika.
Di dalam perusahaan, dia selalu mengusulkan peningkatan kesejahteraan romusha. Tan termasuk anti-Jepang, tapi tetap bergaul dengan mereka, termasuk penjabat direktur Kolonel Tamura. Dia mencoba berbicara mengenai kesejahteraan pekerja, tapi upayanya sia-sia.
Romusha mendapat upah 0,40 gulden (40 sen) dan 250 gram beras setiap hari. Uang 40 sen hanya cukup buat membeli satu pisang. Dalam salah satu tulisannya, Rencana Ekonomi Berjuang, Tan mengatakan hitung-hitungan upah romusha hanya di atas kertas. Tulisan itu dia buat di Surabaya pada November 1945.
Di situ Tan melukiskan kondisi romusha di Bayah lewat percakapan dua tokoh cerita, si Toke dan si Godam. ”Seratus ton arang itu diperoleh dengan makian bagero saja. Tanah, mesin, dan tenaga romusha pun digedor,” ucap si Godam. Ringkasnya, Jepang sama sekali tidak mengeluarkan bayaran romusha.
Tan mencoba menggalang pemuda untuk memperbaiki nasib romusha. Dia menggagas dapur umum yang menyediakan makanan bagi seribu romusha. Mereka membangun rumah sakit di pinggiran Desa Bayah, Cikaret. Tan juga membuka kebun sayur dan buah-buahan di Tegal Lumbu, 30 kilometer dari Bayah.
Peran Tan semakin besar ketika dia ditunjuk sebagai Ketua Badan Pembantu Keluarga Peta—organisasi sosial yang membantu tentara bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). Di bawah panji Badan Pembantu, Tan lebih leluasa mengadakan kegiatan kemasyarakatan, seperti pertunjukan sandiwara atau sepak bola.
Tim sandiwara dan sepak bola itu bernama Pantai Selatan. Pertunjukan sandiwara banyak bercerita tentang nasib romusha. Mereka pernah memainkan Hikayat Hang Tuah, Diponegoro, dan Puputan Bali.
Tim sepak bola juga pernah tampil dalam kejuaraan di Rangkasbitung. Tan menggagas pembangunan lapangan sepak bola di Bayah—kini menjadi terminal. Ia menjadi pemain sayap. Tapi Tan lebih sering menjadi wasit. Selesai bermain, dia biasanya mentraktir para pemain.
Pada September 1944, Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah. Tan menjadi anggota panitia penyambutan tamu. Soekarno berpidato bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu. Setelah itu, Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia. Soekarno meminta pekerja tambang membantu berjuang dengan meningkatkan produksi batu bara.
Selesai pidato, moderator Sukarjo Wiryopranoto mempersilakan hadirin bertanya. Saat itu Tan sedang memilih kue dan minuman untuk para tamu. Para penanya rupanya sering mendapat jawaban guyon sinis. Kepada Son-co (Camat) Bayah, misalnya, Sukarjo mengejek supaya ikut kursus ”Pangreh Praja”.
Tan gerah dengan suasana penuh ejekan itu. Dia pun menyimpan talam kue dan minuman di belakang, lalu bertanya: apakah tidak lebih tepat kemerdekaan Indonesialah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir?
Soekarno menjawab bahwa Indonesia harus menghormati jasa Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah. Menurut dia, rakyat akan berjuang dengan semangat lebih besar membela kemerdekaan yang ada daripada yang dijanjikan.
Tan melihat Soekarno jengkel. Menurut dia, Soekarno mungkin tidak pernah didebat ketika berpidato di seluruh Jawa. Apalagi bantahan itu dari Bayah, kota kecil di pesisir yang cuma dikenal karena urusan romusha dan nyamuk malaria. Tan ingin berbicara lebih panjang, tapi keburu dihentikan.
Awal Juni 1945, Tan menerima undangan dari Badan Pembantu Keluarga Peta Rangkasbitung untuk membicarakan kemerdekaan. Pertemuan itu untuk memilih dan mengirimkan wakil Banten ke pertemuan Jakarta. Tan—sebagai Hussein—didaulat menjadi wakil Banten ke konferensi Jakarta.
Pertemuan di Jakarta diadakan buat mempersatukan pemuda Jawa. Konferensi gagal terlaksana karena larangan Jepang. Tan hanya berbicara sebentar dengan kelompok pemuda angkatan baru, seperti Harsono Tjokroaminoto, Chaerul Saleh, Sukarni, dan B.M. Diah.
Kembali ke Bayah, Tan pindah tugas ke kantor pusat dan mencatat data mengenai romusha. Suatu ketika, Jepang mengumumkan rencana pemotongan ransum. Tan lalu mengemukakan keberatannya dengan berorasi di muka umum. Besoknya, Jepang membatalkan pengurangan ransum.
Di Jakarta, pidato Tan itu dikabarkan menjadi biang kerusuhan. Romusha melarikan diri dan mogok di Gunung Madur. Kempetai (polisi militer Jepang) di Bayah mulai mencari identitas Hussein. Tapi penyelidikan terhenti karena posisi Jepang kian genting. Jerman sudah menyerang dan Rusia menyerbu Jepang pada 9 Agustus 1945.
Tan melihat aktivitas orang Jepang mulai longgar. Dia memanfaatkan situasi itu untuk minta izin hadir dalam konferensi pemuda di Jakarta pada 14 Agustus. Dia menjadi utusan semua pegawai pertambangan dan mendapatkan surat pengantar untuk Soekarno dan Hatta.
Sesampai di Jakarta, dia hanya bertemu sebentar dengan Sukarni. Dia tidak mengetahui drama penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Setelah merdeka, Tan lebih banyak tinggal di Jakarta. Akhir Agustus, dia pergi ke Bayah mengunjungi pemimpin Peta, Djajaroekmantara.
Tan Malaka ke Bayah juga punya tujuan lain, yakni mengambil naskah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Poeze mengatakan naskah itu tersimpan rapi tanpa diketahui siapa pun.
Di Bayah, kegiatan penambangan berangsur terhenti sepeninggal Jepang. Penduduk membumihanguskan Bayah saat agresi militer kedua Belanda pada 1948. Pemerintah setempat membuat tugu romusha pada 1950-an. ”Rasanya dulu lebih ramai ketimbang sekarang,” kata Haji Sukaedji, 73 tahun, warga kelahiran Bayah, kepada Tempo.
Stasiun Bayah kini menjadi tanah kosong penuh ilalang….
TUGU TAN MALAKA DI BAYAH
Perlu Mendapat Perhatian
Republika Online, Sabtu, 17 Mei 2008
Tugu Tan Malaka di Bayah Selatan, Kecamatan Bayah, Lebak, Banten, sama misteriusnya seperti sang Tokoh, Tan Malaka. Tugu itu dibangun tahun 1940-an untuk memperingati kekejaman Romusha di Desa Bayah, Lebak. Kami menemukan Tugu tanpa perawatan ini secara tak sengaja, ketika sedang melakukan perjalanan silaturahmi untuk menemui Kyai Ahmad Choliq di Desa Bayah dari Pesantren Irsyadul Falah, Lebak, Banten.
Tidak ada nama atau prasasti di Tugu itu membuat banyak orang memberi tafsir akan keberadaannya. Kondisi tugu bercat putih itu kini agak, retak-retak kaki penyangganya, dan rumput/ilalang di sekitar Tugu sudah tinggi.
Keberadaanh Tugu itu memberi kebanggaan tersendiri bagi warga Bayah sejak dulu. Saksi hidup yang ada di Bayah yakin sekali bahwa Tugu ini dibuat oleh Tan Malaka, yang di sini dikenal sebagai sebagai Ilyas Husen atau Ibrahim Husen. Presiden RI pertama, Bung Karno, sudah memberi penghargaan gelar kepahlawanan kepada Tan Malaka melalui SK Presiden Nomor 53 tahun 1963 sebagai satu-satunya Pejuang Kemerdekaan Nasional.
Sayangnya, perhatian pemerintah khususnya instansi terkait terhadap pemeliharaan Tugu Tan Malaka sangatlah minim. Saya menghimbau kepada instansi terkait agar memberi perhatian serius kepada keberadaan Tugu Tan Malaka. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.
RH Soetomo
Pimpinan Yayasan Dr RH Soetomo
Antara News 21/08/07 18:56
Tujuh Korban Romusha Minta Dikunjungi Shinzo Abe
Lebak (ANTARA News) – Tujuh kepala keluarga di Kabupaten Lebak meminta Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe yang berkunjung ke Jakarta mendatangi korban pekerja rodi Romusha untuk melihat secara fisik bekas kekejaman pasukan Jepang Tahun 1942 sampai 1945 lalu.
“Saya berharap Shinzo Abe bertanggung-jawab kepada tujuh korban penyiksaan tentara Jepang saat membuka jalan kereta api Saketi-Bayah (80 Km), karena ribuan tenaga kerja romusha yang dikirim dari Jawa Tengah dan Jawa Timur mati kelaparan,” kata Ahmad Poniran (83) kepada ANTARA News di kediamannya di Pulau Manuk, Desa Darmasari, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Selasa.
Ia mengkisahkan kekejaman pasukan Jepang menyebabkan penderitaan rakyat Indonesia, selain dibunuh juga diperkosa sehingga hal wajar jika Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyempatkan diri untuk mendatangi mereka.
“Kami sebagai mantan Romusha berkeinginan dikunjungi Perdana Menteri Jepang yang saat ini berada di Indonesia untuk meminta maaf dan memberikan kompensasi jaminan hidup,” katanya.
Saat ini, ujar dia, mantan Romusha yang ada di Kecamatan Bayah hanya menyisakan sebanyak tujuh kepala keluarga, sebab lainnya sudah meninggal dunia akibat dimakan usia.
Saat ini para korban Romusha berharap adanya kepedulian pemerintah Jepang untuk membantu kesehatan maupun ekonomi karena semuanya sudah usia uzur dan sering sakit-sakitan, kata Ahmad Poniran sambil menyebutkan pasukan Jepang termasuk kejam dan sadis selama menjajah di Tanah Air.
Akibat kekejaman itu hingga kini tangan sebelah kiri sudah tidak bisa digerakan lagi sehingga hal wajar pihaknya menuntut Shinzo Abe agar memberikan dana kerugian karena selama pekerja rodi tidak mendapatkan gajih sepersen pun.
Minem (80) korban Romusha mengatakan, pihak pemerintah Jepang tetap harus bertanggung-jawab terhadap pekerja rodi karena pihaknya dijadikan budak sek untuk melayani para serdadu Jepang.
“Kami hanya meminta dana kerugian saja, sebab kami dibawa ke Kabupaten Lebak dipekerjakan menjadi romusha oleh tentara Jepang itu,” kata Poniem bersama kakaknya Sidi (83) yang mengaku berasal dari Desa Ngasem, Kecamatan Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah, yang kini mendiami rumah sederhana terbuat dari bambu di Desa Darmasari, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak.
Baca Selanjutnya Tentang - Kisah Tan Malaka di Bayah, Lebak, Banten
Daftar Nama Kecamatan Kelurahan/Desa & Kodepos Di Kota/Kabupaten Lebak Banten
Kota/Kabupaten : Lebak
1. Kecamatan Banjarsari
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Banjarsari di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Banjarsari (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Bendungan (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Bojongjuruh (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Cibaturkeusik (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Cidahu (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Cilegong Ilir (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Ciruji (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Cisampih (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Gunungsari (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Jalupang Girang (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Kerta (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Kertaraharja (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Keusik (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Kumpay (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Lebakkeusik (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Leuwiipuh (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Tamansari (Kodepos : 42355)
2. Kecamatan Bayah
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Bayah di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Bayah Barat (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Bayah Timur (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Cidikit (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Cimancak (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Cisuren (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Darmasari (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Pasirgombong (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Sawarna (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Suwakan (Kodepos : 42393)
3. Kecamatan Bojongmanik
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Bojongmanik di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Bojongmanik (Kodepos : 42363)
- Kelurahan/Desa Cimayang (Kodepos : 42363)
- Kelurahan/Desa Harjawana (Kodepos : 42363)
- Kelurahan/Desa Kadurahayu (Kodepos : 42363)
- Kelurahan/Desa Keboncau (Kodepos : 42363)
- Kelurahan/Desa Mekarmanik (Kodepos : 42363)
- Kelurahan/Desa Parakanbeusi (Kodepos : 42363)
4. Kecamatan Cibadak
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Cibadak di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Kaduagung Barat (Kodepos : 42318)
- Kelurahan/Desa Kaduagung Timur (Kodepos : 42318)
- Kelurahan/Desa Asem (Kodepos : 42357)
- Kelurahan/Desa Bojongcae (Kodepos : 42357)
- Kelurahan/Desa Bojongleles (Kodepos : 42357)
- Kelurahan/Desa Cibadak (Kodepos : 42357)
- Kelurahan/Desa Cisangu (Kodepos : 42357)
- Kelurahan/Desa Malabar (Kodepos : 42357)
- Kelurahan/Desa Panancangan (Kodepos : 42357)
- Kelurahan/Desa Pasar Keong (Kodepos : 42357)
- Kelurahan/Desa Tambakbaya (Kodepos : 42357)
5. Kecamatan Cibeber
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Cibeber di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Cibeber (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Cihambali (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Cikadu (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Cikotok (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Cisungsang (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Citorek Barat (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Citorek Kidul (Ciusul) (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Citorek Tengah (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Citorek Timur (Ciparay) (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Girimukti (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Gunungwangun (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Hegarmanah (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Kujangjaya (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Kujangsari (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Mekarsari (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Neglasari (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Sinargalih (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Situmulya (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Sukamulya (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Warnasari (Kodepos : 42394)
- Kelurahan/Desa Warungbanten (Kodepos : 42394)
6. Kecamatan Cigemblong
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Cigemblong di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Cibungur (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Cigemblong (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Cikadongdong (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Cikaret (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Cikate (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Mugijaya (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Peucangpari (Kodepos : 42395)
7. Kecamatan Cihara
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Cihara di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Cihara (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Ciparahu (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Citepuseun (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Karangkamulyan (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Lebak Peundeuy (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Mekarsari (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Panyaungan (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Pondokpanjang (Kodepos : 42392)
8. Kecamatan Cijaku
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Cijaku di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Ciapus (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Cibeureum (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Cihujan (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Cijaku (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Cikaratuan (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Cimega (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Cipalabuh (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Kandangsapi (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Kapunduhan (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Mekarjaya (Kodepos : 42395)
- Kelurahan/Desa Sukasenang (Kodepos : 42395)
9. Kecamatan Cikulur
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Cikulur di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Anggalan (Kodepos : 42356)
- Kelurahan/Desa Cigoong Selatan (Kodepos : 42356)
- Kelurahan/Desa Cigoong Utara (Kodepos : 42356)
- Kelurahan/Desa Cikulur (Kodepos : 42356)
- Kelurahan/Desa Curugpanjang (Kodepos : 42356)
- Kelurahan/Desa Muaradua (Kodepos : 42356)
- Kelurahan/Desa Muncangkopong (Kodepos : 42356)
- Kelurahan/Desa Parage (Kodepos : 42356)
- Kelurahan/Desa Pasirgintung (Kodepos : 42356)
- Kelurahan/Desa Sukadaya (Kodepos : 42356)
- Kelurahan/Desa Sukaharja (Kodepos : 42356)
- Kelurahan/Desa Sumurbandung (Kodepos : 42356)
- Kelurahan/Desa Taman Jaya (Kodepos : 42356)
10. Kecamatan Cileles
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Cileles di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Banjarsari (Kodepos : 42353)
- Kelurahan/Desa Cikareo (Kodepos : 42353)
- Kelurahan/Desa Cileles (Kodepos : 42353)
- Kelurahan/Desa Cipadang (Kodepos : 42353)
- Kelurahan/Desa Daroyon (Kodepos : 42353)
- Kelurahan/Desa Gumuruh (Kodepos : 42353)
- Kelurahan/Desa Kujangsari (Kodepos : 42353)
- Kelurahan/Desa Margamulya (Kodepos : 42353)
- Kelurahan/Desa Mekarjaya (Kodepos : 42353)
- Kelurahan/Desa Parungkujang (Kodepos : 42353)
- Kelurahan/Desa Pasindangan (Kodepos : 42353)
- Kelurahan/Desa Prabugantungan (Kodepos : 42353)
11. Kecamatan Cilograng
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Cilograng di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Cibareno (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Cijengkol (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Cikamunding (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Cikatomas (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Cilograng (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Cireundeu (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Girimukti (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Gunungbatu (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Lebaktipar (Kodepos : 42393)
- Kelurahan/Desa Pasirbungur (Kodepos : 42393)
12. Kecamatan Cimarga
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Cimarga di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Cimarga (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Girimukti (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Gunung Anten (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Inten Jaya (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Jayamanik (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Jayasari (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Karya Jaya (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Marga Jaya (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Margaluyu (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Margatirta (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Mekar Jaya (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Sangiang Jaya (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Sangkan Manik (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Sarageni (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Sudamanik (Kodepos : 42361)
- Kelurahan/Desa Tambak (Kodepos : 42361)
13. Kecamatan Cipanas
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Cipanas di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Bintangresmi (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Bintangsari (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Cipanas (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Giriharja (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Girilaya (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Harumsari (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Haurgajrug (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Jayapura (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Luhurjaya (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Malangsari (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Pasirhaur (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Sipayung (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Sukasari (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Talagahiang/Talagahiyang (Kodepos : 42372)
14. Kecamatan Cirinten
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Cirinten di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Badur (Kodepos : 42363)
- Kelurahan/Desa Cempaka (Kodepos : 42363)
- Kelurahan/Desa Cirinten (Kodepos : 42363)
- Kelurahan/Desa Datarcae (Kodepos : 42363)
- Kelurahan/Desa Kadudamas (Kodepos : 42363)
- Kelurahan/Desa Karangnunggal (Kodepos : 42363)
- Kelurahan/Desa Nangerang (Kodepos : 42363)
- Kelurahan/Desa Parakanlima (Kodepos : 42363)
15. Kecamatan Curugbitung
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Curugbitung di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Candi (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Ciburuy (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Cidadap (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Cilayang (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Cipining (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Curugbitung (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Guradog (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Lebakkasih (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Mayak (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Sekarwangi (Kodepos : 42381)
16. Kecamatan Gunung Kencana
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Gunung Kencana di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Bojongkoneng (Kodepos : 42354)
- Kelurahan/Desa Bulakan (Kodepos : 42354)
- Kelurahan/Desa Ciakar (Kodepos : 42354)
- Kelurahan/Desa Cicaringin (Kodepos : 42354)
- Kelurahan/Desa Ciginggang (Kodepos : 42354)
- Kelurahan/Desa Cimanyangray (Kodepos : 42354)
- Kelurahan/Desa Cisampang (Kodepos : 42354)
- Kelurahan/Desa Gunung Kencana (Kodepos : 42354)
- Kelurahan/Desa Gunungkendeng (Kodepos : 42354)
- Kelurahan/Desa Keramatjaya/Kramatjaya (Kodepos : 42354)
- Kelurahan/Desa Sukanegara (Kodepos : 42354)
- Kelurahan/Desa Tanjungsari Indah (Kodepos : 42354)
17. Kecamatan Kalanganyar
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Kalanganyar di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Cikatapis (Kodepos : 42311)
- Kelurahan/Desa Aweh (Kodepos : 42312)
- Kelurahan/Desa Cilangkap (Kodepos : 42312)
- Kelurahan/Desa Kalanganyar (Kodepos : 42312)
- Kelurahan/Desa Pasirkupa (Kodepos : 42312)
- Kelurahan/Desa Sangiang Tanjung (Kodepos : 42312)
- Kelurahan/Desa Sukamekarsari (Kodepos : 42312)
18. Kecamatan Lebakgedong
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Lebakgedong di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Banjarsari (Kodepos : 42355)
- Kelurahan/Desa Banjar Irigasi (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Ciladaeun (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Lebakgedong (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Lebaksangka (Kodepos : 42372)
- Kelurahan/Desa Lebaksitu (Kodepos : 42372)
19. Kecamatan Leuwidamar
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Leuwidamar di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Bojong Menteng (Kodepos : 42362)
- Kelurahan/Desa Cibungur (Kodepos : 42362)
- Kelurahan/Desa Cisimeut (Kodepos : 42362)
- Kelurahan/Desa Cisimeut Raya (Kodepos : 42362)
- Kelurahan/Desa Jalupang Mulya (Kodepos : 42362)
- Kelurahan/Desa Kanekes (Kodepos : 42362)
- Kelurahan/Desa Lebak Parahiang (Kodepos : 42362)
- Kelurahan/Desa Leuwidamar (Kodepos : 42362)
- Kelurahan/Desa Margawangi (Kodepos : 42362)
- Kelurahan/Desa Nayagati (Kodepos : 42362)
- Kelurahan/Desa Sangkanwangi (Kodepos : 42362)
- Kelurahan/Desa Wantisari (Kodepos : 42362)
20. Kecamatan Maja
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Maja di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Binong (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Cilangkap (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Curug Badak (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Gubugcibeureum (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Maja (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Mekarsari (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Padasuka (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Pasir Kecapi (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Pasir Kembang (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Sangiang (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Sindangmulya (Kodepos : 42381)
- Kelurahan/Desa Tanjung Sari (Kodepos : 42381)
21. Kecamatan Malingping
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Malingping di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Cipeundeuy (Kodepos : 42313)
- Kelurahan/Desa Bolang (Kodepos : 42391)
- Kelurahan/Desa Cilangkahan (Kodepos : 42391)
- Kelurahan/Desa Kadujajar (Kodepos : 42391)
- Kelurahan/Desa Kersaratu (Kodepos : 42391)
- Kelurahan/Desa Malingping Selatan (Kodepos : 42391)
- Kelurahan/Desa Malingping Utara (Kodepos : 42391)
- Kelurahan/Desa Pagelaran (Kodepos : 42391)
- Kelurahan/Desa Rahong (Kodepos : 42391)
- Kelurahan/Desa Sanghiang (Kodepos : 42391)
- Kelurahan/Desa Senanghati (Kodepos : 42391)
- Kelurahan/Desa Sukamanah (Kodepos : 42391)
- Kelurahan/Desa Sukaraja (Kodepos : 42391)
- Kelurahan/Desa Sumber Waras (Kodepos : 42391)
22. Kecamatan Muncang
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Muncang di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Cikarang (Kodepos : 42364)
- Kelurahan/Desa Ciminyak (Kodepos : 42364)
- Kelurahan/Desa Karangcombong (Kodepos : 42364)
- Kelurahan/Desa Leuwicoo (Kodepos : 42364)
- Kelurahan/Desa Muncang (Kodepos : 42364)
- Kelurahan/Desa Pasirnangka (Kodepos : 42364)
- Kelurahan/Desa Sindangwangi (Kodepos : 42364)
- Kelurahan/Desa Sukanagara (Kodepos : 42364)
23. Kecamatan Panggarangan
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Panggarangan di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Cimandiri (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Gunung Gede (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Hegarmanah (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Jatake (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Mekarjaya (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Panggarangan (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Sindangratu (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Situragen (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Sogong (Kodepos : 42392)
- Kelurahan/Desa Sukajadi (Kodepos : 42392)
24. Kecamatan Rangkasbitung
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Rangkasbitung di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Muara Ciujung Barat (Kodepos : 42311)
- Kelurahan/Desa Cimangeungteung (Kodepos : 42312)
- Kelurahan/Desa Citeras (Kodepos : 42312)
- Kelurahan/Desa Kolelet Wetan (Kodepos : 42312)
- Kelurahan/Desa Mekarsari (Kodepos : 42312)
- Kelurahan/Desa Nameng (Kodepos : 42312)
- Kelurahan/Desa Pabuaran (Kodepos : 42312)
- Kelurahan/Desa Pasirtanjung (Kodepos : 42312)
- Kelurahan/Desa Rangkasbitung Barat (Kodepos : 42312)
- Kelurahan/Desa Sukamanah (Kodepos : 42312)
- Kelurahan/Desa Rangkasbitung Timur (Kodepos : 42313)
- Kelurahan/Desa Muara Ciujung Timur (Kodepos : 42314)
- Kelurahan/Desa Jatimulya (Kodepos : 42315)
- Kelurahan/Desa Cijoro Pasir (Kodepos : 42316)
- Kelurahan/Desa Cijoro Lebak (Kodepos : 42317)
25. Kecamatan Sajira
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Sajira di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Bangunmekar (Kodepos : 42371)
- Kelurahan/Desa Calungbungur (Kodepos : 42371)
- Kelurahan/Desa Ciuyah (Kodepos : 42371)
- Kelurahan/Desa Maraya (Kodepos : 42371)
- Kelurahan/Desa Margaluyu (Kodepos : 42371)
- Kelurahan/Desa Mekarsari (Kodepos : 42371)
- Kelurahan/Desa Paja (Kodepos : 42371)
- Kelurahan/Desa Pajagan (Kodepos : 42371)
- Kelurahan/Desa Parungsari (Kodepos : 42371)
- Kelurahan/Desa Sajira (Kodepos : 42371)
- Kelurahan/Desa Sajiramekar (Kodepos : 42371)
- Kelurahan/Desa Sindangsari (Kodepos : 42371)
- Kelurahan/Desa Sukajaya (Kodepos : 42371)
- Kelurahan/Desa Sukamarga (Kodepos : 42371)
- Kelurahan/Desa Sukarame (Kodepos : 42371)
26. Kecamatan Sobang
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Sobang di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Sindanglaya (Kodepos : 42315)
- Kelurahan/Desa Cilebang (Kodepos : 42318)
- Kelurahan/Desa Cirompang (Kodepos : 42318)
- Kelurahan/Desa Citujah (Kodepos : 42318)
- Kelurahan/Desa Hariang (Kodepos : 42318)
- Kelurahan/Desa Majasari (Kodepos : 42318)
- Kelurahan/Desa Sobang (Kodepos : 42318)
- Kelurahan/Desa Sukajaya (Kodepos : 42318)
- Kelurahan/Desa Sukamaju (Kodepos : 42318)
- Kelurahan/Desa Sukaresmi (Kodepos : 42318)
27. Kecamatan Wanasalam
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Wanasalam di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Bejod (Kodepos : 42396)
- Kelurahan/Desa Cikeusik (Kodepos : 42396)
- Kelurahan/Desa Cilangkap (Kodepos : 42396)
- Kelurahan/Desa Cipedang (Kodepos : 42396)
- Kelurahan/Desa Cipeucang (Kodepos : 42396)
- Kelurahan/Desa Cisarap (Kodepos : 42396)
- Kelurahan/Desa Karangpamindangan (Kodepos : 42396)
- Kelurahan/Desa Ketapang (Kodepos : 42396)
- Kelurahan/Desa Muara (Kodepos : 42396)
- Kelurahan/Desa Parungpanjang (Kodepos : 42396)
- Kelurahan/Desa Parungsari (Kodepos : 42396)
- Kelurahan/Desa Sukatani (Kodepos : 42396)
- Kelurahan/Desa Wanasalam (Kodepos : 42396)
28. Kecamatan Warunggunung
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Warunggunung di Kota/Kabupaten Lebak, Provinsi Banten :
- Kelurahan/Desa Banjarsari (Kodepos : 42352)
- Kelurahan/Desa Baros (Kodepos : 42352)
- Kelurahan/Desa Cempaka (Kodepos : 42352)
- Kelurahan/Desa Cibuah (Kodepos : 42352)
- Kelurahan/Desa Jagabaya (Kodepos : 42352)
- Kelurahan/Desa Padasuka (Kodepos : 42352)
- Kelurahan/Desa Pasirtangkil (Kodepos : 42352)
- Kelurahan/Desa Selaraja (Kodepos : 42352)
- Kelurahan/Desa Sindangsari (Kodepos : 42352)
- Kelurahan/Desa Sukaraja (Kodepos : 42352)
- Kelurahan/Desa Sukarendah (Kodepos : 42352)
- Kelurahan/Desa Warunggunung (Kodepos : 42352)
Baca Selanjutnya Tentang - Daftar Nama Kecamatan Kelurahan/Desa & Kodepos Di Kota/Kabupaten Lebak Banten
Ilyas Hussain = Tan Malaka Dari Bayah
IA memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Hussein. Datang dari Bayah, Banten Selatan, pria paruh baya itu bertamu ke rumah Sukarni di Jalan Minangkabau, Jakarta, awal Juni 1945. Di sana sudah ada Chaerul Saleh, B.M. Diah, Anwar, dan Harsono Tjokroaminoto. Tamu jauh itu hendak menghadiri kongres pemuda di Jakarta.
Memakai baju kaus, celana pendek hitam, dan topi perkebunan ditenteng di tangan, tamu itu disambut tuan rumah. Setelah sedikit basa-basi, Hussein menyampaikan analisisnya tentang kemerdekaan dan politik saat itu. Situasi memang lagi genting. Penjajah Jepang sudah di tubir jurang.
Ulasan Hussein tentang proklamasi membuat Sukarni terpukau. Pikiran Hussein sama persis dengan tulisan-tulisan Tan Malaka yang selama ini dipelajari Sukarni. Setelah mendengar analisis Hussein, Sukarni makin mantap: proklamasi harus segera diumumkan.
Sejarah mencatat, Hussein adalah Ibrahim Sutan Datuk Tan Malaka yang tengah menyamar. Sejak awal Sukarni curiga, tamunya tak mungkin hanya orang biasa—meski ia tak berani bertanya. ”Ia heran, bagaimana mungkin orang sekaliber Hussein hidup di wilayah terpencil,” kata sejarawan Belanda Harry A. Poeze.
Karni malah waswas. ”Ia takut kalau Hussein mata-mata Jepang,” kata Anwar Bey, bekas wartawan Antara dan koresponden Buletin Murba. Kekhawatiran yang campur aduk memaksa Sukarni memindahkan rapat ke rumah Maruto Nitimihardjo di Jalan Bogor Lama—sekarang Jalan Saharjo, Jakarta Selatan. Sebelum pergi, Sukarni meminta tamunya menginap satu malam. Hussein tidur di kamar belakang.
Pada saat rapat, analisis Hussein mempengaruhi pikiran Sukarni. Ide-ide Hussein dilontarkannya dalam rapat. ”Sukarni mendesak proklamasi jangan ditunda,” kata Adam Malik. Para pemuda setuju.
Sepulang rapat, Sukarni masih penasaran pada Hussein. Tapi lagi-lagi ia ragu bertanya. Sukarni baru bertemu besok paginya ketika tamunya mau pulang. ”Ia berpesan agar Hussein mempersiapkan pemuda Banten menyongsong proklamasi,” kata Anwar Bey, kini 79 tahun.
Kesaksian itu terungkap pada saat Sukarni memberikan sambutan dalam acara Sewindu Hilangnya Tan Malaka di Restoran Naga Mas, Bandung, Februari 1957. Anwar Bey malam itu hadir di sana.
Dari pertemuan itu, Tan sendiri menafsirkan, Chaerul dan Sukarni mengenal ide-ide politiknya. Tapi ia belum berani membuka jati diri. ”Saya masih menunggu kesempatan yang lebih tepat,” katanya dalam memoar Dari Penjara ke Penjara.
Ia lalu pulang ke Bayah, kembali bekerja sebagai juru ketik. Nama Hussein tetap digunakan. Saat itu usianya 48 tahun.
l l l
HUSSEIN kembali muncul di Jakarta pada 6 Agustus 1945. Ia membawa tas. Isinya celana pendek selutut, kemeja, dan kaus lengan panjang kumal. Kali ini yang dituju rumah B.M. Diah, Ketua Angkatan Baru, yang juga redaktur koran Asia Raya, satu-satunya koran yang terbit di Jakarta.
Utusan Bayah itu menanyakan kabar mutakhir situasi perang. Setelah satu jam Diah memberikan informasi, Hussein menyatakan pendapatnya. ”Pimpinan revolusi kemerdekaan harus di tangan pemuda,” katanya.
Tapi hubungan Hussein dengan Diah berlangsung singkat. Besoknya Diah ditangkap Jepang gara-gara menuntut kemerdekaan dan menentang sikap lunak Soekarno-Hatta. Tahu Diah ditangkap, Hussein pulang ke Bayah.
Di sana ia terus bergerak. Tiga hari kemudian dia terlibat rapat rahasia dengan para pemuda Banten di Rangkasbitung. Pertemuan satu setengah jam itu digelar di rumah M. Tachril, pegawai Gemeenschappelijk Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken—Gabungan Perusahaan Listrik Bandung dan Sekitarnya.
Di sini Hussein mengobarkan pidato yang menggelora. ”Kita bukan kolaborator!” katanya. ”Kemerdekaan harus direbut kaum pemuda, jangan sebagai hadiah.” Kekalahan Jepang, menurut dia, tinggal menunggu waktu.
Pidato itu dilukiskan Poeze dalam buku terbarunya Verguisd en Vergeten Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949. ”Sebagai rakyat Banten dan pemuda yang telah siap merdeka, kami bersumpah mewujudkan proklamasi itu,” kata Hussein di ujung pidatonya.
Bila Soekarno-Hatta tidak mau menandatangani, Hussein memberikan jawaban tegas: ”Saya sanggup menandatanganinya, asal seluruh rakyat dan bangsa Indonesia menyetujui dan mendukung saya.”
Hussein diutus kembali ke Jakarta. Ia diminta menjalin kontak dengan Sukarni dan Chaerul Saleh. Peserta rapat mengantarnya ke stasiun Saketi, Pandeglang. Hussein naik kereta ke Jakarta.
l l l
SITUASI Jakarta tidak menentu. Kebenaran dan desas-desus berkelindan satu sama lain. Kempetai, polisi militer Jepang, mengintai di mana-mana. Para pemuda bergerak di bawah tanah, bersembunyi dari satu rumah ke rumah lain. Usaha Tan Malaka menjalin kontak dengan pemuda tak kesampaian.
Kesulitan Tan bertambah karena kehadirannya tempo hari di rumah Sukarni menyebar dan menjadi pergunjingan. Para pemuda bingung siapa sebenarnya Ilyas Hussein. Karena itu para pemuda jaga jarak bila Hussein muncul.
Peluang Tan menjalin kontak kian teruk karena sikap hati-hatinya yang berlebihan. Sebagai bekas orang buangan dan lama hidup dalam pelarian, Hussein merasa di bawah bayang-bayang penangkapan.
Tan akhirnya berhasil menemui Sukarni di rumahnya pada 14 Agustus sore. Ia mengusulkan agar massa pemuda dikerahkan. Tapi Sukarni sibuk. Di rumah itu banyak orang keluar-masuk. Banyak pula hal yang disembunyikannya, termasuk berita takluknya Jepang.
Ia juga khawatir rumahnya digerebek Kempetai. Itu sebabnya, Sukarni pergi meninggalkan Hussein. Seperti sebelumnya, ia diminta menunggu di kamar belakang. Kali ini bersama dua orang yang tak dikenal.
Salah satunya Khalid Rasyidi, aktivis pemuda Menteng 31. Menurut Khalid, Hussein sempat bertanya di mana tempat penyimpanan senjata Jepang. ”Ia menganjurkan perampasan senjata dalam rangka perjuangan kemerdekaan,” kata Khalid dalam ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, Agustus 1978.
Khalid juga yakin, Sukarni sudah tahu bahwa Hussein tak lain Tan Malaka. Soalnya, sebelum Khalid diminta menemui utusan Banten itu, Sukarni agak lama menunjukkan foto lama orang-orang pergerakan. ”Di antaranya foto Tan Malaka waktu masih muda,” kata Khalid. Poeze menyangsikan hal itu. Menurut dia, Sukarni hanya menduga-duga.
Malam itu Sukarni sempat pulang. Tapi setelah itu menghilang. Hussein besoknya berusaha menemui Chaerul Saleh di Jalan Pegangsaan Barat 30, tapi Chaerul tidak ada di rumah. Karena di sepanjang jalan santer terdengar kabar Jepang menyerah perang, Hussein kembali ke rumah Sukarni. Tapi usahanya sia-sia.
Hussein tidak tahu, Sukarni dan Chaerul akan menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Aksi itu dilakukan karena Soekarno-Hatta ngotot proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sedangkan pemuda ingin merdeka tanpa campur tangan Jepang. Setelah berdebat di Rengasdengklok, Soekarno-Hatta bersedia meneken proklamasi. Teks proklamasi disiapkan di rumah Laksamana Maeda.
Naskah itu besoknya dibacakan di pekarangan rumah Soekarno, di Pegangsaan Timur 56. Upacara berlangsung singkat. Penguasa militer Jepang melarang berita proklamasi meluas di radio dan surat kabar. Itu sebabnya, Tan tidak tahu ada proklamasi. Ia tahu setelah orang ramai membicarakannya di jalan-jalan.
Terbatasnya peran Tan itu, kata Poeze, sungguh ironis. Padahal Tan orang Indonesia pertama yang menggagas konsep republik dalam buku Naar de Republiek Indonesia, yang ditulis pada 1925. Buku kecil ini kemudian menjadi pegangan politik tokoh pergerakan, termasuk Soekarno.
Dalam buku Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Adam Malik melukiskan peristiwa itu sebagai ”kepedihan riwayat”. Sukarni bertahun-tahun membaca buku politik Tan. Tapi pada saat ia membutuhkan pikiran dari orang sekaliber Tan, Sukarni sungkan bertanya siapa Hussein sesungguhnya. ”Ia malah membiarkannya pergi jalan kaki, lepas dari pandangan mata,” kata Adam Malik.
Tan juga tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. ”Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia.”
l l l
Setelah proklamasi, Tan berusaha menemui pemuda. Tapi mereka terus bergerak di bawah tanah. Pada 25 Agustus Tan akhirnya datang ke rumah Ahmad Soebardjo di Jalan Cikini Raya 82. Keduanya pernah bertemu di Belanda pada 1919. ”Pembantu kami mengatakan ada tamu ingin berjumpa,” kata Soebardjo. Tamu itu duduk di pojok ruangan.
Soebardjo kaget. ”Wah, kau Tan Malaka,” katanya. ”Saya kira sudah mati.” Tan menjawab sambil tertawa. ”Alang-alang tak akan musnah kalau tidak dicabut dengan akar-akarnya.” Setelah sempat bersenda-gurau, Soebardjo menawari Tan tinggal di paviliun rumahnya.
Sejak itu Tan diperkenalkan kepada beberapa tokoh seperti Iwa Koesoema Soemantri, Gatot Taroenamihardjo, Boentaran Martoatmojo. Ia juga dipertemukan dengan Nishijima Shigetada, Asisten Laksamana Maeda. Di depan Nishijima, ia bicara tentang revolusi, struktur politik, gerakan massa, hingga propaganda.
Nishijima terheran-heran. ”Bagaimana mungkin orang yang tampak seperti petani ini bisa menganalisis segala-galanya dengan begitu tajam,” katanya. Setelah lebih dari dua jam berbincang, Soebardjo menjelaskan bahwa kawannya ini tak lain Tan Malaka. Nishijima terkejut. Ia bangkit lalu menjabat tangan Tan lebih erat.
Kepada tamunya, Soebardjo meminta keberadaan Tan dirahasiakan. Sepekan menetap di rumah Soebardjo, lewat perantara Nishijima, Tan pindah ke rumah pegawai angkatan laut Jepang di Jalan Theresia. Ia sempat ke Banten membangun jaringan gerilya, lalu balik ke Jakarta. Pada pekan kedua September, ia pindah ke Kampung Cikampak, 18 kilometer sebelah barat Bogor. Sejak itu ia bolak-balik ke Jakarta.
Di Jakarta, kaum pemuda terus bergerak. Mereka melihat pemerintah tidak bekerja mengisi kemerdekaan meski kabinet telah dibentuk. ”Mereka cuma kumpul-kumpul di gedung Pegangsaan,” kata Adam Malik. ”Seperti tidak ada rencana.”
Itu sebabnya, sebagian pemuda mengusulkan demonstrasi. Tapi sebagian lain ingin membentuk Palang Merah dan mengurus tawanan perang. Pemuda yang berkumpul di Jalan Prapatan 10, sekarang Jalan Kwitang, terbelah.
Pemuda prodemonstrasi meninggalkan Jalan Prapatan menuju Menteng 31. ”Ini kesempatan kita mempraktekkan Massa Actie,” kata Sukarni mengutip buku Tan yang menjadi pegangan pemuda. Setelah itu mereka membentuk Komite van Actie. Komite ini mengambil alih sarana transportasi dan mengibarkan bendera Merah-Putih di mana-mana.
Karena kabinet belum ada kegiatan, Soebardjo—saat itu sudah Menteri Luar Negeri—meminta nasihat Tan yang lalu mengusulkan agar propaganda dilakukan lewat semboyan-semboyan. ”Tan ikut mengusulkan kata-katanya,” kata Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto. Semboyan itu ditulis pemuda di tembok-tembok, mobil, dan kereta api hingga tersebar ke luar Jakarta, dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris agar menarik perhatian dunia.
Sejak itu Soekarno mendengar kemunculan Tan. Ia meminta Sayuti Melik mencarinya. Dua tokoh itu akhirnya diam-diam bertemu dua kali pada awal September 1945. Pertemuan itu menjadi rahim lahirnya testamen politik. Isinya: ”Bila Soekarno-Hatta tidak berdaya lagi, pimpinan perjuangan akan diteruskan oleh Tan, Iwa Koesoema, Sjahrir, dan Wongsonegoro.”
Kasak-kusuk kehadiran Tan makin santer. Para pemuda membicarakannya di Menteng 31. Tan saat itu tinggal di rumah Pak Karim, tukang jahit di Bogor. Sukarni dan Adam Malik mencarinya ke sana. Mereka berhasil bertemu, tapi ragu identitas Tan. ”Apalagi saat itu banyak muncul Tan Malaka palsu,” kata Hadidjojo.
Untuk memastikan, para pemuda membawa Soediro—kenalan Tan di Semarang pada 1922—beberapa hari kemudian. Sesudah itu mereka membawa guru Halim, teman sekolah Tan di Bukittinggi. Tan juga dicecar soal Massa Actie karena banyak Tan Malaka palsu tidak bisa menjelaskan isi buku tersebut.
Maruto bahkan menyarankan agar pemuda tidak begitu saja mempercayai Tan. Ia rupanya mendengar Tan sudah bertemu Soekarno. Tapi setelah mendengar kata-kata Tan, kaum pemuda yakin tokoh legendaris itu anti-fasis.
Tan juga sepakat dengan aksi pemuda Menteng 31. ”Ia mengusulkan demonstrasi yang lebih besar,” kata Hadidjojo. Demonstrasi digelar untuk mengukur seberapa kuat rakyat mendukung proklamasi. Ide ini melecut pemuda menggelar rapat akbar di Lapangan Ikada. ”Tan berada di balik layar,” kata Poeze.
Pemuda mendapat kuliah dari Tan tentang perjuangan revolusioner. Persinggungan pemuda dengan Tan berlangsung antara 8 dan 15 September 1945. Sekelompok pemuda, antara lain Abidin Effendi, Hamzah Tuppu, Pandu Kartawiguna, dan Syamsu Harya Udaya, diperkenalkan kepada Tan. Sukarni lalu mengirim Hamzah, Syamsu, dan Abidin ke Surabaya untuk mengorganisasi para pelaut.
Di Jakarta, kelompok pemuda menggelar rapat. Mereka menyiapkan demonstrasi pada 17 September—tepat sebulan setelah proklamasi. Tapi unjuk rasa diundur dua hari. Ada anekdot, tanggal itu dipilih karena para pemuda jengkel dimaki-maki Bung Karno bulan sebelumnya. ”Bung Karno marah karena pemuda menggelar pawai di taman Matraman pakai obor dua hari setelah proklamasi,” kata Hadidjojo mengutip Maruto, ayahnya.
Pamflet aksi disebar dan ditempel di mana-mana. Sukarni keluar-masuk kampung, menemui kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda, hingga kiai, agar datang ke Lapangan Ikada. Mahasiswa meminta Soekarno hadir juga. Tapi presiden pertama itu menolak.
Pada hari yang ditentukan, massa berbondong-bondong datang. Senapan mesin Jepang dibidikkan ke arah kerumunan. Tapi gelombang massa terus berdatangan. Jumlahnya diperkiran 200 ribu. Di bawah terik, mereka menunggu berjam-jam. Salah satu yang hadir almarhum Pramoedya Ananta Toer. ”Itulah pertama kali saya saksikan orang Indonesia tidak takut lagi pada Dai Nippon,” kata Pram, saat itu berusia 20.
Sementara sidang kabinet pagi itu terbelah. Sebagian menteri setuju hadir di Ikada. Sedangkan yang menolak takut ada pertumpahan darah. Rapat berjalan alot. Pukul empat sore, Soekarno memutuskan datang menenteramkan rakyat yang sudah menunggu berjam-jam. ”Saya tidak akan memaksa. Menteri yang mau tinggal di rumah silakan,” katanya.
Rombongan Soekarno-Hatta pergi menuju Ikada. Poeze menduga, Tan Malaka ikut dalam rombongan. ”Ia satu-satunya yang memakai topi, jalan berdampingan dengan Soekarno menuju podium,” kata Poeze.
Di mimbar Soekarno berpidato lima menit. Suaranya lunak. Ia meminta rakyat tetap tenang dan percaya pada pemerintah, yang akan mempertahankan proklamasi. Massa diminta pulang. Setelah itu, barisan bubar meninggalkan lapangan.
Hasil demonstrasi itu menyesakkan Tan. Pidato itu, katanya, tidak menggemborkan semangat berjuang. ”Tidak mencerminkan massa aksi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”
Baca Selanjutnya Tentang - Ilyas Hussain = Tan Malaka Dari Bayah
Langganan:
Postingan (Atom)