Slideshow

Silahkan ubah teks yang anda inginkan di bawah ini :

Senin, 19 Maret 2012

Re : Menyusuri Jejak Romusha di banten

DEBUR ombak pantai selatan itu menjadi saksi bisu atas penderitaan ribuan orang, sekitar 60 tahun silam. Namun, kini jejak-jejak kekejaman yang menewaskan ribuan rakyat Indonesia itu mulai terhapus oleh sikap acuh tak acuh generasi zaman ini. Sejarah romusha di Pulau Manuk, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten, itu kini terancam hilang dari kenangan. Pareno (87), salah satu mantan romusha itu, tertegun sejenak ketika menunjukkan lokasi stasiun, tempat parkir berbagai lokomotif kereta api zaman Jepang, di kawasan pantai Pulau Manuk. Bekas stasiun itu hanya menyisakan pal-pal pondasi yang penuh rumput dan tanaman liar. Tidak jauh dari tempat itu, kuburan para romusha malah tidak ada lagi tanda-tandanya. Kuburan itu hanyalah tanah kosong di sela-sela semak di pantai Pulau Manuk, yang sering terempas ombak ketika laut pasang. "Tanah di sini sudah dikapling-kapling dan kebanyakan punya orang Jakarta," tutur Pareno yang menjadi pemandu dadakan saat menyusuri jejak romusha di tempat itu. Selain Monumen Romusha, perlu kerja keras untuk menemukan jejak-jejak romusha di Bayah. Sumur romusha, stasiun kereta api, goa-goa bekas tambang batu bara di zaman penjajahan Jepang, kuburan romusha, makanan romusha, dan hal-hal lain yang berbau romusha seperti punah begitu saja. "Rel-rel kereta api untuk angkutan batu bara zaman Jepang sudah habis diangkut tukang besi dan dijual," ujarnya. Sumur romusha, tempat para romusha mengambil air untuk minum yang terletak di lahan perkebunan, belakang SLTPN 1 Bayah, kini tertutup tanaman liar. Jenis sayuran yang dahulu dikonsumsi para romusha, seperti sayur bunga karang, sayur ganggang laut, dan lodeh empot, sudah sulit didapat di Pasar Bayah. Upacara peringatan romusha oleh masyarakat setempat, berupa atraksi atau karnaval, pun sudah lama tidak digelar. Menurut Pareno, sudah empat tahun terakhir desanya tidak menggelar peringatan itu seiring dengan meninggalnya para bekas romusha. "Anak-anak muda sekarang malu memperingati upacara itu. Mereka malu kalau diketahui keturunan bekas romusha," ungkapnya. Andaikata semua itu masih terawat, niscaya akan menjadi obyek wisata sejarah, melengkapi wisata pantai yang membentang di pesisir Banten Selatan. Keindahan panorama pantai akan diperkaya oleh kedalaman perenungan batin atas perjalanan sejarah negeri ini. PULAU Manuk adalah salah satu dari beberapa lokasi di Bayah yang menjadi saksi bisu aksi penindasan Jepang terhadap para romusha. Kawasan yang berjarak sekitar lima kilometer dari kota Kecamatan Bayah atau pertigaan Terminal Bayah itu bisa dicapai dari berbagai jurusan. Dari Jakarta, Bayah bisa ditempuh melalui Sukabumi-Pelabuhanratu (Jawa Barat), atau melalui Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak (Banten). Jika melalui Pelabuhanratu, jalur yang dilewati, antara lain Cisolok-Cipicung-Cikotok-Bayah atau Cisolok-Cibareno-Bayah. Selain terkenal dengan sejarah romusha, Bayah juga tercatat dalam buku sejarah sebagai tempat persembunyian tokoh Tan Malaka. Di Banten Selatan itu, ia pernah menyamar sebagai mandor pertambangan batu bara dengan nama samaran Ilyas Husein. Tan Malaka sempat mengorganisasi para romusha, membentuk kelompok drama, dan menyelesaikan karya magnum opus-nya, Madilog. Pada zaman penjajahan Jepang, tulis Adhy Asmara dalam Pesona Wisata Zamrud Katulistiwa Banten, kapal-kapal perang Jepang banyak yang melakukan pendaratan di seputar muara Cimadur, Pantai Bayah. Saat itu, Bayah dikenal sebagai penghasil utama batu bara, yang digunakan untuk bahan bakar kereta api, kapal laut, dan pabrik. Penambangan batu bara, antara lain dengan pembuatan lubang-lubang tambang batu bara di Gunung Madur serta pembuatan rel kereta api Bayah-Seketi untuk mengangkut batu bara, diperkirakan memakan korban kurang lebih 93.000 romusha. Pareno mengungkapkan, sebagian besar romusha itu didatangkan dari Jawa Tengah, seperti Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan lain-lain. SEJARAH Romusha di Bayah merupakan potensi wisata sejarah yang diabaikan. Potensi itu sebenarnya akan melengkapi potensi wisata pantai selatan dan wisata ke gua-gua alam. Namun, semua potensi tersebut kurang digarap sehingga terkesan merana. kawasan Pulau Manuk telah ditata menjadi Desa Wisata Romusha Pulau Manuk. Akan tetapi, saat menyusuri kawasan itu, tidak terlihat adanya tanda-tanda tempat itu telah dijadikan desa wisata. Sejarah romusha di Banten Selatan-seperti sejarah di balik Tembok Berlin (Jerman), kisah di balik Tugu Tiananmen (China), atau cerita kekejaman Nazi di Monumen Kebangkitan 1944 di Warsawa (Polandia)- sebenarnya bisa dijadikan obyek wisata untuk mengenang luka sejarah.... Parino –dalam Kartu Tanda Penduduk seumur hidup– lahir di Purworejo, 1 Februari 1917. Sementara data Romusha Kecamatan Bayah, mencatat nama Amat Parino kelahiran 1924 di tempat sama. Bayah menjadi tempat berkumpulnya Romusha dan pegawai pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara 1 April 1943. Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan Timur, termasuk Parino ini. Parino bekerja sebagai penggali lubang penambangan di Gunung Madur, sekitar 10 kilometer dari Bayah. Dengan luas sekitar 15 ribu hektare, Bayah menjadi satu-satunya tempat yang mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang datang. Belanda bahkan sudah memberikan izin membuka tambang kepada perusahaan sejak 1903, tapi belum mengeksploitasinya. Sebelum 1942, kebutuhan batu bara di Jawa dipasok dari Sumatera dan Kalimantan. Namun angkutan pelayan Jepang banyak terpakai kepentingan perang. Jepang ingin Jawa mandiri dalam memenuhi kebutuhan batu bara. Dan Bayah-lah pilihannya. Jepang membuka tambang lewat perusahaan Bayah Kozan Sumitomo. Bayah menjadi pusat administrasinya. Mereka membuka jalur kereta api dari Saketi, Kabupaten Pandeglang menuju Bayah –sekitar 90 kilometer. Dari Bayah, kereta bersambung menuju lokasi penambangan seperti Gunung Madur, Tumang dan Cihara. Stasiun Saketi menjadi tempat persimpangan kereta dari Jakarta menuju Bayah dan Labuan. Jalur Jakarta-Labuan sudah ada sejak jaman Belanda, 1914. Stasiun Saketi kini menjadi hunian anak kepala stasiun. Saketi berasal dari bahasa Sunda yang artinya 100 ribu. Konon, nama ini muncul ketika ada kabar Jepang mau membuka jalur ke Bayah. Dulu Saketi masih bernama Ciandur. Nah, dari kabar itu muncul desas-desus tentang ramalan mengerikan : Ciandur-Bayah akan terhubung dengan besi dan kuda besi diatasnya dengan memakan korban 100 ribu. Belum ada yang memverifikasi data itu . Tapi nyatanya banyak Romusha mati saat jalur kereta 90 kilometer itu dibuat. Kalau benar, artinya setiap 1 meter harus ditebus dengan 1 nyawa! Kembali ke Bayah. Mbah Parino di sana mendapat upah F 0,40 (40 sen) sehari ditambah 250 gram beras. Uang 40 sen sehari waktu itu hanya cukup buat beli satu buah pisang. Itupun Jepang jarang membayar upah Romusha. Setiap pagi Mbah Parino berkumpul di depan asrama Romusha. Menyembah matahari. Senam sambil nyanyi lagu Jepang. Si Mbah masih hafal lagu propaganda itu, seperti Umiyukaba, Yaesiyono, Haitaisan no arigato hingga lagu kebangsaan Jepang Kimigayo. “Coba dong Mbah sambil peragakan senamnya…” “Halah….gak kuat kalee…” Si Mbah juga masih lancar Bahasa Jawa. Pulo Manuk memang terkenal sebagai Kampung Jawa. Si Mbah pake tiga bahasa dalam kesehariannya : Jawa, Sunda dan Melayu. Setelah cukup dengan segala ritual ala Nippon itu, Parino diberi makan bubur encer dan langsung menuju lubang penambangan. Kalau beruntung, sorenya Parino dapat jatah makan lagi. Tapi seringnya Parino mengakhiri hari dengan perut berbunyi. Mbah Parino termasuk orang yang memiliki kekebalan tubuh yang hebat. Ratusan bahkan ribuan temannya mati karena kelaparan dan penyakit. Tempat si Mbah ini memang terkenal sangar. Tentara Jepang saja takut pergi ke Pulomanuk ini –sekitar 6 kilometer dari Bayah. Di sini menjadi sarang Malaria, Disentri, Kudis, Borok dan penyakit lainnya. Mayat bergelimpangan. Dalam sehari Mbah Parino bisa menguburkan tiga mayat. Itu baru di Pulo Manuk, belum di Bayah seluruhnya. Mbah Parino ini kenal dengan Haji Emok Mukandar –penduduk asli yang mengurus mayat romusha di seluruh Bayah. *** Dalam memoar Tan Malaka, jumlah Romusha yang meninggal mencapai 400 orang dalam sebulan. Kuburan para Romusha setelah merdeka konon mencapai 38 hektare. Maka para penggede Bayah pada 1950-an membangun Tugu Romusha. Sampai sekarang tugu itu masih menjadi tempat ziarah keluarga Romusha. Sebuah tugu tanpa perawatan memadai.
Komentar Facebook
Komentar Blogger

0 komentar:

Posting Komentar