Silahkan ubah teks yang anda inginkan di bawah ini :
Senin, 19 Maret 2012
Kisah Tan Malaka di Bayah, Lebak, Banten
Pada rangkaian tulisan yang lalu telah dikemukakan tentang jalan KA maut alias Death Railway antara Birma-Siam dan antara Muaro Pekanbaru dengan jumlah korban fantastis yang terdiri dari tawanan perang (POW) Sekutu dan romusha. Keduanya menyangkut pembangunan jalan kereta api yang punya arti sangat strategis bagi kelanjutan ekspansi tentara Jepang pada Perang Dunia ke 2, dan dikerjakan dengan sistim kerja paksa (slave labour) romusha dan POW tadi. Pembahasan akan menjadi kurang lengkap kalau Death Railway ke tiga tidak kita singgung dalam rangkaian kisah kekejaman perang ini. Death Railway yang ke 3 adalah pembangunan jalan kereta api antara Saketi-Bayah di Banten Selatan yang dilakukan pada tahun 1942-1945.Pembangunan jalan KA Saketi-Bayah juga merupakanbagian dari strategi perang Jepangbertujuan ganda : pertama mengangkut batu bara dari tambang batu bara Cikotok yang merupakan bahan bakar kereta api dan kapal zaman itu, kedua guna menghindarkan angkutan laut yang sudah mulai terancam oleh serangan torpedo kapal selam sekutu. Pembangunannya juga dilakukan dengan menggunakan tenaga romusha tanpa POW, tapi melibatkan sejumlah tenaga ahli perkereta apian Belanda yang menjadi tawanan perang Jepang. Pekerjaan penambangan batu bara inipun dikerjakan dengan penggunaan tenaga romusha.
Bantalan kayu dan rel untuk pembangunan jalan KA ini diambil dari seluruh Jawa, sebagaimana halnya juga dengan tenaga romusha yang kebanyakan berasal dari Jawa Tengah, seperti dari Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan lain-lain.
Pembangunan jalan kereta api sepanjang 89 km ini menelan korban yang diperkirakan mencapai 93.000 jiwa romusha.
Bayah yang sibuk dengan aktivita pembuatan jalan kereta api dan penambangan batu bara inilah yang juga terkait dengan cerita seputar Tan Malaka.
Diceritakan bahwa dikota kecil Bayah inilah Tan Malaka pernah menetap.
Kota yang merupakan tempat yang aman bagi persembunyian Tan Malaka, dan tempat yang cukup tenang guna meneruskan aktivitasnya menuliskan buah-buah pemikirannya tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Walau kisah sejarah ini sangat mencekam dilihat dari korban jiwa romusha yang fantastis itu, ternyata saat ini jejak-jejak sejarah itu sudah hampir-hampir lenyap. Masyarakat banyak yang hanya pernah mendengar kisah ini dan hampir semuanya sekarang bersikap acuh tak acuh.
Tempat-tempat yang dulu dikenal sebagai sumur romusha, stasiun Kereta Api, goa-goa bekas penambangan batu bara, semua sudah sulit ditemukan. Rel-rel untuk angkutan batu bara sudah habis diangkut tukang besi untuk dijual.
Satu-satunya apresiasi yang pernah diberikan terhadap para korban ini adalah kehadiran sebuah monumen berupa tonggak setinggi 3 meter, yang terletak di sebelah SLTPN 1. Tugu yang dikhabarkan dibangun oleh Tan Malaka ini berada dalam kondisi tidak terawat dan terkesan diabaikan.
Berikut ini adalah beberapa kisah seputar jalan kereta api maut Saketi-Bayah yang diambil dari sejumlah posting di internet :
Berikut ini terjemahan dari buku yang sama, tentang
jalur Banten Selatan (Jan de Bruin)
Jalur Banten Selatan (Saketi-Bayah)
Terutama setelah tahun 1943, kesulitan hubungan laut
(akibat kegiatan kapal selam Sekutu) menimbulkan
masalah bahan bakar di Jawa. Sebelum perang, sebagian
besar lokomotif menggunakan bahan bakar batu bara, dan
sebagiannya kayu jati. Produksi kayu per tahun adalah
sekitar 300 ribu ton, sebagian besarnya dari Dinas
Kehutanan (Boschwezen = Perhutani). Untuk kepentingan
perusahaan kereta api, diperlukan 900 ribu ton kayu
bakar per tahunnya. Maka, sejak tahun 1942, Jepang
memiliki gagasan untuk memanfaatkan batu bara muda di
sekitar Bayah sebagai bahan bakar. Jepang mendapatkan
sebuah laporan dari sekitar tahun 1900 bahwa cadangan
batu bara muda di Bayah mencapai 20-30 juta ton.
Jepang memperkirakan bahwa produksi batu bara per
tahun mungkin mencapai 300 ribu ton. Namun cadangan
batu bara tersebut tersebar di lahan yang luas dan
terisolasi. Lapisan batu bara itu juga tipis, hanya
sekitar 80 cm, sehingga eksploitasi besar-besaran pada
masa damai tidak akan ekonomis. Namun ini adalah masa
perang.
Untuk bisa mengeksploitasi tambang-tambang itu,
dibangun jalur sepanjang 89 km dari Saketi (sebuah
stasiun di jalur Rangkasbitung-Labuan) ke Bayah, di
selatan Banten. Rencana jalur mulai dirancang pada
bulan Juli 1942, dan pembangunan dimulai awal tahun
1943. Bantalan kayu dan rel dikirim dari seluruh Jawa
ke Saketi. Sejak awal tahun 1943 banyak pakar
perkeretaapian Belanda dipaksa untuk menyumbangkan
keahlian dan pengetahuan mereka untuk pembangunan
jalur ini. Seperti juga di Sumatera, kerja terberat
dalam pembangunan jalur ini dilakukan oleh para
romusha. Banyak dari mereka menjadi korban karena
kekurangan makan dan penyakit tropis. Angka yang
diberikan bervariasi dari 20 hingga 60 ribu, belum
termasuk 20 ribu pekerja tambang yang tewas. Daerah
berpenduduk jarang ini masih merupakan rimba,
rawa-rawa dan bukit-bukit, penuh dengan hewan buas.
Ditambah dengan kerja keras dan ketiadaan obat-obatan,
tidak kurang dari 500 romusha setiap harinya tewas,
namun setiap harinya jumlah yang lebih besar direkrut
untuk menjadi pekerja. Pada masa pembangunan jalur ini
sekitar 25-55 ribu pekerja membangun jalur ini. Sejauh
diketahui, tidak ada tawanan perang yang dipekerjakan
untuk membangun jalur ini. Pada bulan Maret 1944 jalur
telah siap, dan dibuka pada 1 April 1944 (tepat 61
tahun yang lalu!) oleh para pejabat Jepang. Lokomotif
BB10.6 menarik kereta pertama di jalur ini.
Jalur ini berawal di stasiun Saketi, dan berakhir di
Gunungmandur, letak tambang batu bara yang terjauh.
Stasiun Gunungmandur terletak dua kilometer dari
stasiun Bayah. Jalur sepur tunggal ini memiliki
sembilan stasiun dan lima halte (yaitu Cimangu,
Kaduhauk, Jalusang, Pasung, Kerta, Gintung,
Malingping, Cilangkahan, Sukahujan, Cihara,
Panyawungan, Bayah dan Gunungmandur). Masing-masing
stasiun setidaknya memiliki dua jalur dan bangunan
stasiun kecil; Bayah memiliki lima jalur. Selain
stasiun Gunungmandur, tujuh stasiun yang lebih kecil
dilengkapi dengan sinyal dengan handel kayu. Bayah
menggunakan sinyal Alkmaar.
Setiap harinya maksimum 300 ton batu bara muda dibawa
ke Saketi. Selain batu bara, ada pula kereta api
penumpang, namun karena daerah ini berpenduduk jarang,
sebagian besar penumpang adalah pekerja kereta api
atau pekerja tambang. Setiap harinya 800 penumpang
bepergian, yang diangkut dengan 15 kereta kelas 3.
Jalur ini dibangun relatif lebih kokoh daripada jalur
Pekanbaru, dengan 20 jembatan, semuanya dengan
ujung-ujung dari batu.
Untuk pembangunan jalur Banten Selatan ini digunakan
material kereta api dari pabrik-pabrik gula yang
ditutup dan lok tram PsSM No. 12 (B16). Setelah
beroperasi, digunakan material SS dan lok BB10.
Kompas, Sabtu, 07 Agustus 2004
Menyusuri Jejak Romusha di Pulau Manuk DEBUR ombak pantai selatan itu menjadi saksi bisu atas penderitaan ribuan orang, sekitar 60 tahun silam. Namun, kini jejak-jejak kekejaman yang menewaskan ribuan rakyat Indonesia itu mulai terhapus oleh sikap acuh tak acuh generasi zaman ini. Sejarah romusha di Pulau Manuk, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten, itu kini terancam hilang dari kenangan.
SATU-satunya apresiasi terhadap kegetiran para romusha itu hanyalah berupa tonggak monumen yang berlokasi di sebelah SLTPN 1 Bayah, tak jauh dari Kantor Camat Bayah. Itu pun kurang terawat dan terkesan diabaikan.
Pekan ketiga bulan Juli lalu, bangunan bersisi empat dengan tinggi sekitar tiga meter tersebut mulai menghitam. Rumput-rumput liar memenuhi gundukan tanah pinggir jalan raya, tempat Monumen Romusha itu dibangun.
Bendera merah-putih tidak terpasang sempurna karena kaitan bagian merah terlepas. Merah-putih yang tidak bisa berkibar seolah mengabarkan ketidakberdayaan para romusha di bawah kekejaman penjajah Jepang, tahun 1942-1945.
Pareno (87), salah satu mantan romusha itu, tertegun sejenak ketika menunjukkan lokasi stasiun, tempat parkir berbagai lokomotif kereta api zaman Jepang, di kawasan pantai Pulau Manuk. Bekas stasiun itu hanya menyisakan pal-pal pondasi yang penuh rumput dan tanaman liar.
Tidak jauh dari tempat itu, kuburan para romusha malah tidak ada lagi tanda-tandanya. Kuburan itu hanyalah tanah kosong di sela-sela semak di pantai Pulau Manuk, yang sering terempas ombak ketika laut pasang.
“Tanah di sini sudah dikapling-kapling dan kebanyakan punya orang Jakarta,” tutur Pareno yang menjadi pemandu dadakan saat menyusuri jejak romusha di tempat itu. Selain Monumen Romusha, perlu kerja keras untuk menemukan jejak-jejak romusha di Bayah.
Sumur romusha, stasiun kereta api, goa-goa bekas tambang batu bara di zaman penjajahan Jepang, kuburan romusha, makanan romusha, dan hal-hal lain yang berbau romusha seperti punah begitu saja. “Rel-rel kereta api untuk angkutan batu bara zaman Jepang sudah habis diangkut tukang besi dan dijual,” ujarnya.
Sumur romusha, tempat para romusha mengambil air untuk minum yang terletak di lahan perkebunan, belakang SLTPN 1 Bayah, kini tertutup tanaman liar. Jenis sayuran yang dahulu dikonsumsi para romusha, seperti sayur bunga karang, sayur ganggang laut, dan lodeh empot, sudah sulit didapat di Pasar Bayah.
Upacara peringatan romusha oleh masyarakat setempat, berupa atraksi atau karnaval, pun sudah lama tidak digelar. Menurut Pareno, sudah empat tahun terakhir desanya tidak menggelar peringatan itu seiring dengan meninggalnya para bekas romusha. “Anak-anak muda sekarang malu memperingati upacara itu. Mereka malu kalau diketahui keturunan bekas romusha,” ungkapnya.
Andaikata semua itu masih terawat, niscaya akan menjadi obyek wisata sejarah, melengkapi wisata pantai yang membentang di pesisir Banten Selatan. Keindahan panorama pantai akan diperkaya oleh kedalaman perenungan batin atas perjalanan sejarah negeri ini.
PULAU Manuk adalah salah satu dari beberapa lokasi di Bayah yang menjadi saksi bisu aksi penindasan Jepang terhadap para romusha. Kawasan yang berjarak sekitar lima kilometer dari kota Kecamatan Bayah atau pertigaan Terminal Bayah itu bisa dicapai dari berbagai jurusan. Dari Jakarta, Bayah bisa ditempuh melalui Sukabumi-Pelabuhanratu (Jawa Barat), atau melalui Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak (Banten). Jika melalui Pelabuhanratu, jalur yang dilewati, antara lain Cisolok-Cipicung-Cikotok-Bayah atau Cisolok-Cibareno-Bayah.
Jalur Cisolok-Cibareno-Bayah akan melewati beberapa jalan mendaki dan menurun, tetapi pengunjung akan mendapat suguhan panorama laut selatan, seperti Pantai Cibangban, Cibareno, dan seterusnya. Indahnya pantai selatan di kiri jalan, yang diselingi dengan liukan nyiur dan hamparan sawah di dekat pantai, bisa dinikmati di jalur selatan itu hingga Muarabinuangeun.
Namun, jika menyetir mobil, perlu berhati-hati dan jangan sampai terlena pada keindahan pantai selatan. Di sepanjang jalur selatan itu, masih banyak jalan berlubang kendati masih layak untuk dilalui. Di samping itu, situasi jalan di tempat-tempat tertentu pada jalur itu kadang-kadang sepi.
Jika melalui Rangkasbitung, jalur yang dilewati, antara lain, yaitu Saketi (Pandeglang)-Malingping-Bayah. Sebelum sampai Malingping, pengunjung akan melewati jalan berliku-liku di antara permukiman warga dan area perkebunan dengan kondisi jalan yang sebagian bagus, tetapi sebagian sudah rusak. Setelah melewati Malingping ke arah Bayah, pemandangan pantai selatan terhampar di kanan jalan.
Selain terkenal dengan sejarah romusha, Bayah juga tercatat dalam buku sejarah sebagai tempat persembunyian tokoh Tan Malaka. Di Banten Selatan itu, ia pernah menyamar sebagai mandor pertambangan batu bara dengan nama samaran Ilyas Husein. Tan Malaka sempat mengorganisasi para romusha, membentuk kelompok drama, dan menyelesaikan karya magnum opus-nya, Madilog.
Pada zaman penjajahan Jepang, tulis Adhy Asmara dalam Pesona Wisata Zamrud Katulistiwa Banten, kapal-kapal perang Jepang banyak yang melakukan pendaratan di seputar muara Cimadur, Pantai Bayah. Saat itu, Bayah dikenal sebagai penghasil utama batu bara, yang digunakan untuk bahan bakar kereta api, kapal laut, dan pabrik.
Penambangan batu bara, antara lain dengan pembuatan lubang-lubang tambang batu bara di Gunung Madur serta pembuatan rel kereta api Bayah-Seketi untuk mengangkut batu bara, diperkirakan memakan korban kurang lebih 93.000 romusha. Pareno mengungkapkan, sebagian besar romusha itu didatangkan dari Jawa Tengah, seperti Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan lain-lain.
SEJARAH Romusha di Bayah merupakan potensi wisata sejarah yang diabaikan. Potensi itu sebenarnya akan melengkapi potensi wisata pantai selatan dan wisata ke gua-gua alam. Namun, semua potensi tersebut kurang digarap sehingga terkesan merana.
Adhy Asmara dalam buku yang sama menyebutkan, kawasan Pulau Manuk telah ditata menjadi Desa Wisata Romusha Pulau Manuk. Akan tetapi, saat menyusuri kawasan itu, tidak terlihat adanya tanda-tanda tempat itu telah dijadikan desa wisata.
Sejarah romusha di Banten Selatan-seperti sejarah di balik Tembok Berlin (Jerman), kisah di balik Tugu Tiananmen (China), atau cerita kekejaman Nazi di Monumen Kebangkitan 1944 di Warsawa (Polandia)- sebenarnya bisa dijadikan obyek wisata untuk mengenang luka sejarah…. (MH SAMSUL HADI)
Tempo 25/XXXVII 11 Agustus 2008
Kerani yang Baik Hati
PENDENGARANNYA tak lagi sempurna. Ingatannya pun telah memudar. Dia hanya menggelengkan kepala ketika ditanyai soal usianya. Parino, dalam kartu tanda penduduk, lahir di Purworejo pada Februari 1917. Sedangkan data Romusha Kecamatan Bayah mencatat nama Amat Parino kelahiran Purworejo 1924.
Parino kini tinggal di Kampung Pulo Manuk, Desa Darmasari, Bayah, Banten Selatan—sekitar 230 kilometer dari Jakarta. Dia diboyong dari Purworejo, Jawa Tengah, untuk bekerja di bagian lubang tambang batu bara. Parino tidak tahu persis usianya ketika itu. Yang diingatnya, ”Saya belum menikah, tapi sudah disunat,” ujarnya sambil tertawa.
Bayah menjadi tempat berkumpul romusha dan pegawai pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara pada 1 April 1943. Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Parino. Di kawasan pesisir selatan inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka singgah dan bekerja sebagai juru tulis.
Tan Malaka datang ke Bayah pada Juni 1943. Dia dikenal masyarakat Bayah dengan nama samaran Ilyas Hussein. Parino lamat-lamat mengingat nama Hussein sebagai seorang kerani atau juru tulis. ”Kalau enggak salah, orangnya sangat pintar,” kata Parino.
Bayah dengan luas sekitar 15 ribu hektare menjadi satu-satunya tempat yang mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang datang. Belanda telah memberikan izin membuka tambang kepada perusahaan swasta sejak 1903, tapi belum mengeksploitasinya.
Sebelum 1942, kebutuhan batu bara di Jawa dipasok dari Sumatera dan Kalimantan. Namun angkutan pelayaran Jepang banyak terpakai oleh kepentingan perang. Jepang ingin Jawa mandiri dalam memenuhi kebutuhan batu bara.
Jepang membuka tambang lewat perusahaan Sumitomo. Mereka membuka jalur kereta api dari Saketi, Pandeglang, menuju Bayah—sekitar 90 kilometer. Dari Bayah, kereta bersambung menuju ke lokasi penambangan seperti Gunung Madur, Tumang, dan Cihara. Kini beberapa lokasi masih ditambang penduduk, sedangkan yang lain terbengkalai begitu saja.
Tan bekerja di Bayah setelah melamar ke kantor Sosial. Dia butuh penghasilan sekaligus tempat bersembunyi. Waktu itu, perusahaan di Bayah membutuhkan 30 pekerja—bukan romusha. Tan melamar tanpa ijazah. Dia mengaku bersekolah di MULO (setara dengan sekolah menengah pertama) dua tahun dan pernah menjadi juru tulis di Singapura. Tan lulus dengan menyisihkan 50 pelamar.
Tan berangkat dengan kereta api dari Tanah Abang, berakhir di Stasiun Saketi. Saat itu kereta rute Saketi-Bayah belum beroperasi. Dia lalu meneruskan perjalanan dengan truk.
Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan mendapat cerita tentang asal-usul Saketi. Kata Saketi berasal dari bahasa Sunda, yang artinya 100 ribu. Konon, 100 ribu itu mengacu pada ramalan tentang banyaknya korban selama pembuatan jalur kereta Saketi-Bayah. Jadi, kalau jarak Saketi ke Bayah 90 kilometer, ada satu nyawa melayang dalam satu meter rel.
Stasiun Saketi menjadi tempat persimpangan kereta dari Jakarta menuju Bayah dan Labuan. Tempo—bersama penulis buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 , Harry Albert Poeze—menelusuri rute perjalanan Tan dari Stasiun Saketi. Kini bangunan itu telah menjadi tempat tinggal anak kepala stasiun, Momo Mujaya, 58 tahun. Jalur Saketi-Bayah berhenti beroperasi pada 1950-an, disusul Saketi-Labuan sekitar 1980.
Sesampai di Bayah, Tan indekos di rumah warga, sebelum menghuni gubuk kecil dari bambu. Dia selalu memakai celana pendek, kemeja dengan leher terbuka, kaus panjang, helm tropis, dan tongkat. Dia berbicara dengan bahasa Indonesia, tapi jarang tampil di depan umum.
Tan sering menjelajahi pelosok, termasuk Pulo Manuk, enam kilometer dari Bayah. Tempat itu paling ditakuti, termasuk oleh tentara Jepang, karena penyakit kudis, disentri, dan malaria mewabah di sana. Waktu itu, penyakit dan kelaparan menjadi faktor utama kematian romusha di Bayah.
Suatu saat, Tan pernah diminta mengurusi data pekerja. Dia sering berhubungan dengan romusha dan mencatat jumlah kematian mereka. Dalam memoarnya, Tan mencatat 400-500 romusha meninggal setiap bulan. Hingga akhir pendudukan Jepang, luas tempat pemakaman romusha mencapai 38 hektare.
Keluar-masuk terowongan dan memberikan nasihat pentingnya kesehatan, Tan dikenal sebagai kerani yang baik hati. Dia suka membelikan makanan buat romusha dari upahnya sendiri. ”Kita dapat mempraktekkan rasa tanggung jawab terhadap golongan bangsa Indonesia yang menjadi korban militerisme Jepang,” kata Tan suatu ketika.
Di dalam perusahaan, dia selalu mengusulkan peningkatan kesejahteraan romusha. Tan termasuk anti-Jepang, tapi tetap bergaul dengan mereka, termasuk penjabat direktur Kolonel Tamura. Dia mencoba berbicara mengenai kesejahteraan pekerja, tapi upayanya sia-sia.
Romusha mendapat upah 0,40 gulden (40 sen) dan 250 gram beras setiap hari. Uang 40 sen hanya cukup buat membeli satu pisang. Dalam salah satu tulisannya, Rencana Ekonomi Berjuang, Tan mengatakan hitung-hitungan upah romusha hanya di atas kertas. Tulisan itu dia buat di Surabaya pada November 1945.
Di situ Tan melukiskan kondisi romusha di Bayah lewat percakapan dua tokoh cerita, si Toke dan si Godam. ”Seratus ton arang itu diperoleh dengan makian bagero saja. Tanah, mesin, dan tenaga romusha pun digedor,” ucap si Godam. Ringkasnya, Jepang sama sekali tidak mengeluarkan bayaran romusha.
Tan mencoba menggalang pemuda untuk memperbaiki nasib romusha. Dia menggagas dapur umum yang menyediakan makanan bagi seribu romusha. Mereka membangun rumah sakit di pinggiran Desa Bayah, Cikaret. Tan juga membuka kebun sayur dan buah-buahan di Tegal Lumbu, 30 kilometer dari Bayah.
Peran Tan semakin besar ketika dia ditunjuk sebagai Ketua Badan Pembantu Keluarga Peta—organisasi sosial yang membantu tentara bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). Di bawah panji Badan Pembantu, Tan lebih leluasa mengadakan kegiatan kemasyarakatan, seperti pertunjukan sandiwara atau sepak bola.
Tim sandiwara dan sepak bola itu bernama Pantai Selatan. Pertunjukan sandiwara banyak bercerita tentang nasib romusha. Mereka pernah memainkan Hikayat Hang Tuah, Diponegoro, dan Puputan Bali.
Tim sepak bola juga pernah tampil dalam kejuaraan di Rangkasbitung. Tan menggagas pembangunan lapangan sepak bola di Bayah—kini menjadi terminal. Ia menjadi pemain sayap. Tapi Tan lebih sering menjadi wasit. Selesai bermain, dia biasanya mentraktir para pemain.
Pada September 1944, Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah. Tan menjadi anggota panitia penyambutan tamu. Soekarno berpidato bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu. Setelah itu, Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia. Soekarno meminta pekerja tambang membantu berjuang dengan meningkatkan produksi batu bara.
Selesai pidato, moderator Sukarjo Wiryopranoto mempersilakan hadirin bertanya. Saat itu Tan sedang memilih kue dan minuman untuk para tamu. Para penanya rupanya sering mendapat jawaban guyon sinis. Kepada Son-co (Camat) Bayah, misalnya, Sukarjo mengejek supaya ikut kursus ”Pangreh Praja”.
Tan gerah dengan suasana penuh ejekan itu. Dia pun menyimpan talam kue dan minuman di belakang, lalu bertanya: apakah tidak lebih tepat kemerdekaan Indonesialah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir?
Soekarno menjawab bahwa Indonesia harus menghormati jasa Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah. Menurut dia, rakyat akan berjuang dengan semangat lebih besar membela kemerdekaan yang ada daripada yang dijanjikan.
Tan melihat Soekarno jengkel. Menurut dia, Soekarno mungkin tidak pernah didebat ketika berpidato di seluruh Jawa. Apalagi bantahan itu dari Bayah, kota kecil di pesisir yang cuma dikenal karena urusan romusha dan nyamuk malaria. Tan ingin berbicara lebih panjang, tapi keburu dihentikan.
Awal Juni 1945, Tan menerima undangan dari Badan Pembantu Keluarga Peta Rangkasbitung untuk membicarakan kemerdekaan. Pertemuan itu untuk memilih dan mengirimkan wakil Banten ke pertemuan Jakarta. Tan—sebagai Hussein—didaulat menjadi wakil Banten ke konferensi Jakarta.
Pertemuan di Jakarta diadakan buat mempersatukan pemuda Jawa. Konferensi gagal terlaksana karena larangan Jepang. Tan hanya berbicara sebentar dengan kelompok pemuda angkatan baru, seperti Harsono Tjokroaminoto, Chaerul Saleh, Sukarni, dan B.M. Diah.
Kembali ke Bayah, Tan pindah tugas ke kantor pusat dan mencatat data mengenai romusha. Suatu ketika, Jepang mengumumkan rencana pemotongan ransum. Tan lalu mengemukakan keberatannya dengan berorasi di muka umum. Besoknya, Jepang membatalkan pengurangan ransum.
Di Jakarta, pidato Tan itu dikabarkan menjadi biang kerusuhan. Romusha melarikan diri dan mogok di Gunung Madur. Kempetai (polisi militer Jepang) di Bayah mulai mencari identitas Hussein. Tapi penyelidikan terhenti karena posisi Jepang kian genting. Jerman sudah menyerang dan Rusia menyerbu Jepang pada 9 Agustus 1945.
Tan melihat aktivitas orang Jepang mulai longgar. Dia memanfaatkan situasi itu untuk minta izin hadir dalam konferensi pemuda di Jakarta pada 14 Agustus. Dia menjadi utusan semua pegawai pertambangan dan mendapatkan surat pengantar untuk Soekarno dan Hatta.
Sesampai di Jakarta, dia hanya bertemu sebentar dengan Sukarni. Dia tidak mengetahui drama penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Setelah merdeka, Tan lebih banyak tinggal di Jakarta. Akhir Agustus, dia pergi ke Bayah mengunjungi pemimpin Peta, Djajaroekmantara.
Tan Malaka ke Bayah juga punya tujuan lain, yakni mengambil naskah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Poeze mengatakan naskah itu tersimpan rapi tanpa diketahui siapa pun.
Di Bayah, kegiatan penambangan berangsur terhenti sepeninggal Jepang. Penduduk membumihanguskan Bayah saat agresi militer kedua Belanda pada 1948. Pemerintah setempat membuat tugu romusha pada 1950-an. ”Rasanya dulu lebih ramai ketimbang sekarang,” kata Haji Sukaedji, 73 tahun, warga kelahiran Bayah, kepada Tempo.
Stasiun Bayah kini menjadi tanah kosong penuh ilalang….
TUGU TAN MALAKA DI BAYAH
Perlu Mendapat Perhatian
Republika Online, Sabtu, 17 Mei 2008
Tugu Tan Malaka di Bayah Selatan, Kecamatan Bayah, Lebak, Banten, sama misteriusnya seperti sang Tokoh, Tan Malaka. Tugu itu dibangun tahun 1940-an untuk memperingati kekejaman Romusha di Desa Bayah, Lebak. Kami menemukan Tugu tanpa perawatan ini secara tak sengaja, ketika sedang melakukan perjalanan silaturahmi untuk menemui Kyai Ahmad Choliq di Desa Bayah dari Pesantren Irsyadul Falah, Lebak, Banten.
Tidak ada nama atau prasasti di Tugu itu membuat banyak orang memberi tafsir akan keberadaannya. Kondisi tugu bercat putih itu kini agak, retak-retak kaki penyangganya, dan rumput/ilalang di sekitar Tugu sudah tinggi.
Keberadaanh Tugu itu memberi kebanggaan tersendiri bagi warga Bayah sejak dulu. Saksi hidup yang ada di Bayah yakin sekali bahwa Tugu ini dibuat oleh Tan Malaka, yang di sini dikenal sebagai sebagai Ilyas Husen atau Ibrahim Husen. Presiden RI pertama, Bung Karno, sudah memberi penghargaan gelar kepahlawanan kepada Tan Malaka melalui SK Presiden Nomor 53 tahun 1963 sebagai satu-satunya Pejuang Kemerdekaan Nasional.
Sayangnya, perhatian pemerintah khususnya instansi terkait terhadap pemeliharaan Tugu Tan Malaka sangatlah minim. Saya menghimbau kepada instansi terkait agar memberi perhatian serius kepada keberadaan Tugu Tan Malaka. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.
RH Soetomo
Pimpinan Yayasan Dr RH Soetomo
Antara News 21/08/07 18:56
Tujuh Korban Romusha Minta Dikunjungi Shinzo Abe
Lebak (ANTARA News) – Tujuh kepala keluarga di Kabupaten Lebak meminta Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe yang berkunjung ke Jakarta mendatangi korban pekerja rodi Romusha untuk melihat secara fisik bekas kekejaman pasukan Jepang Tahun 1942 sampai 1945 lalu.
“Saya berharap Shinzo Abe bertanggung-jawab kepada tujuh korban penyiksaan tentara Jepang saat membuka jalan kereta api Saketi-Bayah (80 Km), karena ribuan tenaga kerja romusha yang dikirim dari Jawa Tengah dan Jawa Timur mati kelaparan,” kata Ahmad Poniran (83) kepada ANTARA News di kediamannya di Pulau Manuk, Desa Darmasari, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Selasa.
Ia mengkisahkan kekejaman pasukan Jepang menyebabkan penderitaan rakyat Indonesia, selain dibunuh juga diperkosa sehingga hal wajar jika Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyempatkan diri untuk mendatangi mereka.
“Kami sebagai mantan Romusha berkeinginan dikunjungi Perdana Menteri Jepang yang saat ini berada di Indonesia untuk meminta maaf dan memberikan kompensasi jaminan hidup,” katanya.
Saat ini, ujar dia, mantan Romusha yang ada di Kecamatan Bayah hanya menyisakan sebanyak tujuh kepala keluarga, sebab lainnya sudah meninggal dunia akibat dimakan usia.
Saat ini para korban Romusha berharap adanya kepedulian pemerintah Jepang untuk membantu kesehatan maupun ekonomi karena semuanya sudah usia uzur dan sering sakit-sakitan, kata Ahmad Poniran sambil menyebutkan pasukan Jepang termasuk kejam dan sadis selama menjajah di Tanah Air.
Akibat kekejaman itu hingga kini tangan sebelah kiri sudah tidak bisa digerakan lagi sehingga hal wajar pihaknya menuntut Shinzo Abe agar memberikan dana kerugian karena selama pekerja rodi tidak mendapatkan gajih sepersen pun.
Minem (80) korban Romusha mengatakan, pihak pemerintah Jepang tetap harus bertanggung-jawab terhadap pekerja rodi karena pihaknya dijadikan budak sek untuk melayani para serdadu Jepang.
“Kami hanya meminta dana kerugian saja, sebab kami dibawa ke Kabupaten Lebak dipekerjakan menjadi romusha oleh tentara Jepang itu,” kata Poniem bersama kakaknya Sidi (83) yang mengaku berasal dari Desa Ngasem, Kecamatan Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah, yang kini mendiami rumah sederhana terbuat dari bambu di Desa Darmasari, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak.


Langganan:
Posting Komentar (Atom)